TANGGAPAN ATAS ARTIKEL “MENGAPA HARUS YAHWEH?”
(Majalah Rohani Hikmat No 107 September 2007)
Pemetaan pergerakan Sacred Name Movement di Indonesia sebenarnya telah mengristal menuju pergerakan Mesianik [f1]. Namun sisa-sisa trauma gereja-gereja di Indonesia terhadap pergerakan Sacred Name Movement masih nampak terasa di sana-sini berupa sinisme, ketakutan, kekhawatiran terhadap fenomena Sacred Name Movement yang mengguncang struktur kemapanan dan kenyamanan doktrin dan ibadah gereja-gereja di Indonesia. Kekhawatiran dan sinisme gereja-gereja di Indonesia, memang tidak terlepas dari cara-cara pewartaan yang terlalu bersemangat dan cenderung radikalistik, sehingga menimbulkan ancaman yang mendorong gereja-gereja melakukan “self defence mechanism” [mekanisme pertahanan diri]. Nah, salah satu dari mekanisme pertahanan diri adalah munculnya buku-buku, artikel-artikel yang memberikan respons rektif terhadap aktivitas Sacred Name Movement, lengkap dengan tuduhan sebagai aktivis Saksi Yehuwa. Sisa-sisa pemahaman yang reaktif ini masih ditunjukkan oleh artikel berjudul “Mengapa Harus Yahweh?” yang diterbitkan oleh Majalah Rohani Hikmat.
Sayangnya, argumentasi yang diusung di dalamnya hanyalah argumentasi lama dengan literatur yang minim. Saya katakan argumentasi lama, karena
sebagian pernyataan dan kutipan merupakan refleksi “theological shock” [kejutan teologis] yang terjadi sekitar tahun 2001-2004, di mana beberapa penulis seperti Bambang Noorsena terlibat secara emosional menanggapi fenomena Sacred Name Movement. Suasana pada waktu itu masih panas dan belum “cooling down” [mendigin]. Saya katakan literatur yang minim, karena tidak memberi ruang sedikitpun terhadap berbagai kajian yang bersifat eksploratif terhadap eksistensi nama Yahweh. Jika kita meluangkan waktu untuk menjelajah dunia maya, sangat banyak buku dan artikel kajian mengenai eksistensi dan relevansi nama Yahweh.
Sebut saja alamat situs-situs berikut yang mengkaji secara mendalam mengenai nama Yahweh al.,
www.restorationscriptures.org, www.nazarene.net. www.paleotimes.org, www.ynca.com.
Sebenarnya saya tidak tertarik untuk menanggapi tulisan yang ketinggalan mengikuti pergerakan zaman dan ketinggalan mengikuti perkembangan pergerakan Sacred Name dan Mesianik di Indonesia dan seluruh dunia ini [f2]. Namun tidak baik membiarkan seseorang atau institusi berada dalam ketidaktahuan, karena ketidaktahuan mendorong kesalahpahaman dan kesalahanpahaman mendorong kesimpulan yang salah dan bias sehingga menimbulkan distorsi bagi orang lain.
Berdasar realita di atas, maka saya akan mengkaji beberapa pokok persoalan yaang diulas secara keliru oleh Majalah Rohani Hikmat dengan judul artikel “Mengapa Harus Yahweh?” Dalam kajiannya, penulis artikel yang tidak menyebutkan namanya mengulas empat pokok argumentasi yang menyatakan: Kata “Yahweh” Tak Ada di Alkitab, Memutarbalik Fakta, Semua Nama Harus Diganti, Menengok Fakta Sejarah. Maka untuk memudahkan pembahasan, saya buat dalam format tanggapan yang mempertanyakan validitas masing-masing judul.
Kata “Yahweh” Tak Ada di Alkitab?
Pada halaman 15 dikatakan, “Di dalam Alkitab bahasa Ibrani sekalipun, tidak pernah ada istilah “Yahweh”.
Tanggapan saya (Teguh Hindarto):
Inilah keprihatinan saya terhadap Kekristenan, terhadap para pendeta, gembala sidang, pekabar Injil dan jemaat Kristen. Hampir kebanyakan tidak mengerti berbahasa Ibrani. Kalaupun para siswa teologi mempelajari teologi, namun sebatas memenuhi quota kurikulum yang nota bene hanya 2 sks. Padahal pemahaman dan penguasaan bahasa Ibrani sangat penting sebagai landasan melakukan Hermeneutik dan Homiletik. Kebanyakan para rohaniawan Kristen di Indonesia lebih mengandalkan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang disediakan LAI (Lembaga Alkitab Indonesia), padahal jika kita tinjau, sangat banyak terjemahan yang tidak tepat dengan bahasa Ibraninya.
Coba baca Yehezkiel 34:16. Lembaga Alkitab Indonesia menuliskan demikian:
Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya.
BHT Ezekiel 34:16 ´et-hä´öbeºdet ´ábaqqëš wü´et-hanniDDaºHat ´äšîb wülannišBeºret ´eHéböš wü´et-haHôlâ ´áHazzëq wü´et-haššümënâ wü´et-haHázäqâ ´ašmîd ´er`eºnnâ bümišPä†
NIV Ezekiel 34:16 I will search for the lost and bring back the strays. I will bind up the injured and strengthen the weak, but the sleek and the strong I will destroy. I will shepherd the flock with justice.
Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan frasa, “we et hakhazaqa asmid”, menjadi “serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi”. Padahal kata “asmid” artinya “exterminated” [membasmi/memusnahkan]. Jika “melindungi, seharusnya “yishmor”. Bahkan New International Version pun menerjemahkan dengan tepat, “but the sleek and the strong I will destroy”.
Apa yang dapat kita tarik dari kasus di atas? Bahwasanya kita tidak dapat mengandalkan pada naskah terjemahan, termasuk bahasa Inggris sekalipun. Kita harus “minimal” menguasai bahasa Ibrani dan Yunani serta IDIOM Ibrani, sehingga sedikit banyak kita mendapat pengertian utuh dari makna teks yang dimaksud. Contoh: Istilah “mata baik” [ayin tova] dan “mata buruk” [ayin ra’ah] dalam Matius 6:22-23 serta istilah “membatalkan Torah” dan “menggenapkan Torah” dalam Matius 5:17-18, adalah idiom Hebraik yang artinya tidak sesederhana yang kita pahami selama ini. Mengenai pentingnya idiom Hebraik dalam tafsir Kitab Suci, dapat membaca buku-buku al,.
DR. David Bivin & Roy Blizard, Understanding the Dificults Words of Jesus”, Destiny Image Publishers, 1994 atau dapat diakses di www.JCStudies.com
Robert H. Stein, Difficult Pasages in the Gospels, baker Book House, 1986
Berkaitan dengan nama Yahweh, saya perlu meluruskan pernyataan Majalah Rohani Hikmat. Yahweh BUKAN KATA melainkan NAMA. Mari simak pernyataan dalam Sefer Mishley [Kitab Amsal] 18:10 sbb, “Migdal oz shem Yahweh, bo yarutz tsadiq we nishgav” [nama Yahweh menara yang kokoh, orang benar berlari dan selamat]. Kata Ibrani “shem” artinya “nama”. Ada 864 kali kata “shem” dalam TaNaKh dan 90 kali muncul dalam bentuk jamak. Dalam Theologicall Word Old Testament, Archer dkk memberikan penjelasan mengenai nama sbb;
The concept of personal names in the OT often included existence, character, and reputation (1Sam 25:25). Often the plural form of shem is rendered as "persons, " (e.g. Num 1:2, 18, 20; Num 3:40, 43; Num 26:55). Further "to cut off the name" was equal to liquidating the person himself (Deut 7:24; Deut 9:14; 1Sam 24:21 [H 22] etc.). [f3]
Artinya, konsep mengenai nama-nama pribadi dalam Perjanjian Lama lebih sering meliputi keberadaan, karakter dan nama baik [1 Sam 25:25]. Sering bentuk jamak shem menunjuk pada ‘pribadi-pribadi’ [Bil 1:2, 18,20; 3:40,43; 26:55]. Selanjutnya, ‘menghapuskan nama’ setara dengan menyingkrikan pribadi orang tersebut [Ul 7:24; 9:14; 1 Sam 24:21].
Dari penjelasan di atas, Yahweh BUKANLAH KATA melainkan NAMA. Nama siapa? Nama Tuhan yang benar yang disembah oleh Adam [Kej 4:1], Avraham, Yitskhaq dan Ya’aqov [Kel 3:15] dan seluruh Bangsa Yishrael [Ul 6:4].
Nama Yahweh muncul dalam TaNaKh sebanyak 6007 kali. Bagaimana penulis Majalah Rohani Hikmat dapat berasumsi bahwa “Yahweh” tidak ada dalam Kitab TaNaKh? Pernyataan, “Tidak tertutup kemungkinan, pengisian huruf vokal pada kata YHWH, bisa berbunyi sesuai dengan pengaruh dialek perorangan, suku atau ras tertentu. Jadi mungkin orang bisa menyebut Yahwe, Yahwah, Yahwih, Yehweh, Yuhwuh, Yihwih, Yehwah, Yahwo dan masih banyak lagi, tinggal membolak-balik saja huruf hidupnya. Asal bukan Yahoo, yang adalah nama sebuah situs internet!” [hal 15], menunjukkan keengganan penulis untuk menelesuri lebih jauh misteri pronunsiasi [pelafalan] nama YHWH.
--> Renungkan sejenak, ketika Moshe bertanya kepada Elohim di Sinai, “mah Atta shemo? ” [ Siapakah nama-Mu, Kel 3:13], apakah Moshe tidak mendengar secara audible perkataan dari langit yang menyatakan, “Ehyeh asher Ehyeh” [Aku Ada yang Aku akan Ada, Kel 3:14] dan “Anoki Yahweh Elohekem, Elohey Avotekem…[Akulah Yahweh, Elohimmu, Elohim nenek moyangmu…,Kel 3:15]? Karena Moshe berbicara panim al panim [bertemu muka] dengan Yahweh Semesta Alam, maka dia tentunya mendengar suara yang menjelaskan nama pribadi Elohim Pencipta Langit dan Bumi.
Persoalannya, Tetragrammaton YHWH harus dibunyikan apa? Tidak perlu berspkelulasi. Ungkapan “Halelu-Yah” yang artinya “(ter) Pujilah (Engkau) Yahweh”, merupakan indikasi kuat bahwa ucapan untuk YHWH adalah Yahweh. Ahli Masoretik yang menyematkan huruf hidup untuk Adonai pada YHWH, sehingga terbaca “Yehwah”, tidak bisa dijadikan alasan bahwa nama-Nya bukan Yahweh. Upaya yang dilakukan Ahli Masoretik adalah untuk menghindari umat mengucapkan nama Yahweh, sehingga menajiskan-Nya. Namun apa yang dilakukan Ahli Masoretik adalah tafsir tertentu terhadap Keluaran 20:7. Sesungguhnya leluhur Yishrael mengucapkan dan mengajak umat untuk memanggil nama-Nya, sebagaimana dikatakan Dawid, “hodu la Yahweh qir’u bishemo” [Bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya”, 1 Tawarikh 16:8].
Pernyataan, “Nama dalam teologi Yahudi lebih menunjukkan kepada kuasa dibalik yang diNamakan” [hal 15], tidak berdasar sama sekali. Sebagaimana telah dikutip sebelumnya, “Nama” sekaligus merangkum “pribadi” sekaligus “kuasa” atau “otoritas” di dalam nama tersebut. Nama Yahweh bukan sebatas kuasa dibalik yang dinamakan dengan Yahweh, namun sekaligus nama pribadi-Nya yang menunjukkan sifat, karakter, serta kekuasaan-Nya.
Nama Yahweh berakar dari “hayah” yang bermakna “Ada”, “Hadir”, “Bertindak”.
Nama Yahweh bermakna Dia yang Ada, Bertindak, Hadir, bagi umat-Nya dan bukan kekuatan alam yang dinamakan sebagai Tuhan, sebagaimana yang dilakukan bangsa-bangsa di luar Yishrael.
Memutarbalik Fakta?
Pada halaman 16 dikatakan, “Di sini, tampak sekali ada usaha pemaksaan oleh sekte Yahweh, untuk menyebut nama Allah itu Yahweh. Padahal nama-Nya adalah YHWH”.
Tanggapan saya:
Ini sungguh menggelikan. Bagaimana mungkin Sang Pencipta ketika memperkenalkan nama diri-Nya kepada Moshe dengan mengatakan, “Anoki YHWH Elohekem, Elohe Avotekem, Elohey Avraham we Elohey Yitskhaq we Elohey Ya’aqov, ze shemi le olam we ze zikri le dor dor”. Jika Sang Pencipta mengucapkan kalimat pernyataan mengenai siapa diri-Nya sebagai terekam dalam kalimat berbahasa Ibrani di atas, maka TIDAK MUNGKIN Dia hanya mengucapkan YHWH. Jika Dia mengucapkan diri-Nya dengan YHWH, tentunya Moshe akan bertanya, “mah YHWH?” Nyatanya tidak bukan? Itu pertanda bahwa Moshe mengerti apa yang didengar dan diucapkan oleh Tuhan Pencipta yang menyatakan diri-Nya dengan nama Yahweh.
Pada halaman 16 dikatakan, “Sekalipun demikian, di antara ‘teolog’ sekte Yahweh ada yang meyakini bahwa bahasa asli Perjanjian Baru adalah Ibrani, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Padahal tidak terlalu sulit untuk menunjukkan bahwa dokter Lukas yang menulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul adalah seorang non Yahudi. Mana mungkin Lukas menulis kitab-kitabnya dalam bahasa Ibrani? Yang benar aja!”.
Pernyataan ini senada dengan tokoh yang dikutip pendapatnya, yaitu Bambang Noorsena seorang aktivis Gereja Orthodox Syria di Indonesia yang menyatakan, “Pernah Sdr. Teguh Hindarto, salah seorang dari tokoh kaum ‘penentang Allah’ itu, mengatakan kepada saya: ‘memang dalam Perjanjian Baru teks Yunani tidak ada nama Yahweh, tetapi belum tentu teks Yunani itu asli. Mungkin kalau Perjanjian Baru teks Ibrani ditemukan, nama Yahweh pasti ada’. Argumentasi ini tentu saja konyol. Bagaimana mungkin mereka sudah begitu yakin dengan teori mereka, sementara ‘masih menunggu bukti Perjanjian Baru teks Asli Ibrani’ ditemukan?” [hal 20].
Tanggapan saya:
saya sarankan penulis artikel ini untuk membuka wawasan dengan membuka situs yang melakukan kajian semitisme Kitab Perjanjian Baru sbb:
www.peshita.org,
www.yerusalemperspective.com,
www.torahresource.com,
www.ffoz.org,
www.petahtikvah.com
www.menorahministries.org
Mengenai pernyataan Bambang Noorsena, konteks pembicaraan ketika saya pada waktu itu belum berhasil menemukan data-data dan bukti-bukti Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani dan Aramaik yang bersifat Semitik dan lebih dahulu tinimbang naskah Greek/Yunani.
-->Mengenai keyakinan saya sebelum menemukan bukti Kitab Perjanjian Baru berbahasa Ibrani, persis seperti dengan percakapan DR. Rushel yang menjabarkan teori “Peleburan Dingin” dalam film “THE SAINT”. Ketika ditanya oleh para pakar lain, “Bagaimana Anda begitu yakin bahwa teori itu akan terbukti benar jika Anda sendiri belum dapat membuktikannya?”
-->Maka DR. Rushel yang cantik menjawab dengan penuh gairah di matanya, “Saya dapat merasakannya, bahwa teori ini dapat dibuktikan, seperti air yang mengalir dari lautan menuju pantai”. Inilah sikap saya ketika memberikan pernyataan bahwa saya tidak yakin bahwa naskah Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Sebelum masuk pada pembahasan terhadap pernyataan bahwa Kitab Perjanjian Baru di tulis dalam bahasa Yunani atau bahasa Ibrani, marilah kita mengkaji terlebih dahulu, dalam bahasa apakah Yahshua (Yesus) dan para rasul berbicara dan menyampaikan berbagai pengajarannya.
Mari kita perhatikan beberapa data berikut:
“Sebab telah diketahui semua orang, bahwa Tu[h]an kita berasal dari suku Yahuda dan mengenai suku itu Moshe tidak pernah mengatakan suatu apa pun tentang imam-imam” [Ibr 7:14]
“…tiba-tiba, ya raja Agripa, pada tengah hari bolong aku melihat di tengah jalan itu cahaya yang lebih terang dari pada cahaya matahari, turun dari langit meliputi aku dan teman-teman seperjalananku. Kami semua rebah ke tanah dan aku mendengar suatu suara yang mengatakan kepadaku dalam bahasa Ibrani: Shaul, Shaul, mengapa engkau menganiaya Aku? Sukar bagimu menendang galah”[Kis 26:13-14]
“Sesudah Paulus diperbolehkan oleh kepala pasukan, pergilah ia berdiri di tangga dan memberi isyarat dengan tangannya kepada rakyat itu; ketika suasana sudah tenang, mulailah ia berbicara kepada mereka dalam bahasa Ibrani, katanya:…”[Kis 21:40]
Dari pemaparan tiga ayat tersebut, kita mendapatkan beberapa data dan fakta bahwa Yahshua secara antropologis [dari sisi kemanusiaan] lahir dari suku Yahuda yang berbahasa Ibrani.
Dan Ketika dia berbicara pada Shaul setelah kenaikan-Nya ke Sorga, Dia berbicara padanya dalam bahasa Ibrani.
Demikian pula Shaul berbicara dengan bahasa Ibrani. Frasa “bahasa Ibrani” dalam Kisah Rasul 21:40 dan 26:14 dalam naskah Kitab Perjanjian Baru, dituliskan “Ebraidi Dialekto” [|]dan dalam naskah Peshitta [Perjanjian Baru bahasa Aramaik] disebut “E’braita” [].
Apa yang dimaksud dengan “Ebraidi Dialekto” itu? Mengutip pandangan J.M. Grintz dalam Journal of Biblical Literatur, 1960, D. Bivin dan R. Blizzard mengatakan sbb:
“Penyelidikan atas tulisan Yosephus [ahli sejarah bangsa Yahudi Abad I Ms, red] menunjukkan tanpa keraguan bahwa kapan saja Yosephus menyebut “glota Ebraion” [lidah Ibrani] dan “Ebraion dialekton” [dialek Ibrani, dia selalu memaksudkan artinya, “bahasa Ibrani” dan bukan bahasa lain” [f4]
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Yahshua dan para rasul pada waktu berkomunikasi dan mengajar, selalu menggunakan bahasa Ibrani dan beberapa campuran bahasa Aramaik yang serumpun. Contoh, Yahshua mengucapkan “Efata” [terbukalah, Mrk 7:34], “Talita kumi” [anak gadis, bangunlah, Mrk 5:41], “Eli-Eli lama sabakhtani” [El-ku,El-ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Mat 27:46], dll.
Namun mengapa kita hanya mengenal Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Greek atau Yunani? Menurut para ahli, jumlah naskah dan manuskrip kuno Kitab Yunani, ada sekitar 5000-an yang terdiri dari berbagai abad yang berbeda [f5].
-->Jika memang benar Yahshua dan para rasul berbahasa Ibrani, mengapa Kitab Perjanjian Baru menuliskan ajaran Yahshua dan para rasul dalam bahasa Greek/Yunani?
-->Pada mulanya, naskah-naskah ajaran Yahshua dituliskan dalam bahasa Ibrani, kemudian berkembang dan diterjemahkan dalam bahasa Yunani.
--> Menurut kesaksian Epiphanius [350 Ms] yang mengutip perkataan Papias [150-170] yang hidup tidak lama setelah zaman para rasul, mengatakan:“Matius menyusun perkataan-perkataan tersebut dalam dialek Ibrani dan orang lain menerjemahkannya semampu mereka” [f6]
Apa arti pernyataan di atas? Bahwa para rasul pada mulanya menuliskan perkataan dan ajaran Yahshua dalam bahasa Ibrani, kemudian untuk kepentingan pemberitaan “Besorah” [Kabar Baik], maka kitab itu diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Mengapa dalam bahasa Yunani? Karena bangsa Yahudi pada waktu itu menjadi wilayah yang di bawah kepenguasaan Romawi dengan bahasa nasional Yunani Koine. Penulisan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, mengacu kepada naskah TaNaKh [Torah, Neviim, Kethuvim] yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani, yang dinamakan Septuaginta.
Septuaginta, selalu menuliskan nama Yahweh yang berjumlah 6007 kali dalam TaNaKh [Torah, Neviim, Kethuvim] menjadi ‘KURIOS’. Kebiasaan ini diteruskan oleh Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani, saat mereka mengutip ucapan atau nubuat para nabi dalam TaNaKh, mereka selalu mengganti nama Yahweh, menjadi Kurios.
--> Kurios sendiri dalam bahasa Yunani bermakna “TUAN/MAJIKAN” yang setara dengan sebutan “ADONAI” dalam bahasa Ibrani. Maka tidak heran jika sampai sekarang, kita tidak menemukan nama Yahweh dalam Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani.
--> Adakah kitab-kitab Perjanjian Baru yang mula-mula ditulis dengan bahasa Ibrani tersebut? Jika yang dimaksud dengan tulisan berbahasa Ibrani awal, memang BELUM ditemukan. Namun jika copy atau salinannya ada.
--> Meskipun salinannya ditemukan dengan angka tahun Abad XVI Ms. Beberapa kitab Perjanjian Baru yang bercorak semitik atau Ibrani al., versi Du Tillet, versi Shem Tov, versi Munster, versi Crawford dan naskah Peshitta Aramaik.
--> Versi Du Tillet, ditemukan pada Tgl 12 Agustus, 1553 pada saat pembacaan Petisi Pietro oleh Kardinal Caraffa, Jendral Inkuisisi Roma Katholik, anak buah Paus Pope III, yang memerintahkan agar berbagai Talmud Yahudi dan apapun yang berbau tulisan Yahudi, agar dimusnahkan. Namun Bishop dari Brieau, Prancis bernama Jean Du Tillet menemukan naskah Besorah Mattai [Injil Matius] dalam bahasa Ibrani. Dia menyelamatkan naskah tersebut dan menyerahkannya pada The Bibliotheque Nationale, Paris dengan nama Manuskrip Ibrani no 132 [f7].
--> Versi Shem Tov merupakan sebuah tulisan pembelaan terhadap para rabbi Yahudi, yang berjudul “Even Bohan” [batu penjuru] yang ditulis sekitar tahun 1380 Ms. dengan disertai naskah Injil Matius dalam bahasa Ibrani [f8].
--> Versi Crawford merupakan naskah Kitab Wahyu dalam bahasa Aram. Naskah ini dibeli oleh Earl of Crawford sekitar tahun 1860 [f9].
--> Versi Old Syriac atau bahasa Aram kuno, merupakan terjemahan Injil Sinoptik [MatitYahu, Markos, Luka, Yokhanan] dalam bahasa Aramaik yang serumpun dengan Ibrani. Menurut para ahli, usia terjemahan Aramaik berkisar Abad V dan Abad VI Ms. Naskah Aramaik pertama di temukan pada tahun 1842 di Biara Santa Mary Deipara di lembah Natron Lakes, Mesir. Naskah ini dipublikasikan oleh DR. William Cureton pada tahun 1858 dan dinamakan Curetonian atau Codex Syrus Curetonianus. Naskah ini didaftarkan pada British Museum dengan no 14451. Naskah Aramaik kedua ditemukan oleh Agnes Smith Lewis di Biara Santa Cathrine, di Sinai pada tahun 1892. Naskah ini dipublikasikan dengan nama Syriac Siniatic atau Codex Syrus Sinaiticus dengan no 30.
--> Versi Peshita, merupalkan naskah dalam bahasa Aramaik, yang oleh beberapa ahli diasumsikan sebagai revisi terhadap naskah Old Syriac. Naskah Peshitta muncul sebelum Abad V Ms, yaitu sebelum terjadi perdebatan Kristologis mengenai hakikat Yahshua yang memecah belah Qahal Mesianik non Yahudi menjadi berbagai sekte. Ada sekitar 350 manuskrip Peshitta yang ditemukan [f10].
-->Yang menarik, dalam banyak hal tertentu, ada ketidakcocokkan antara Kitab Perjanjian Baru versi Yunani dengan Kitab Perjanjian Baru versi Semitik yang berbahasa Ibrani atau Aramaik. Perbedaan versi ini harus dipandang bukan sebagai pemalsuan atau manipulasi, melainkan memberiakan bukti kuat bahwa Kitab Perjanjian Baru Semitik seperti Shem Tov, Du Tillet, Crawford, Munster, Peshitta dan Old Syriac BUKAN TERJEMAHAN dari naskah Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Sebaliknya, Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani, sering menyalah artikan kosa kata Ibrani tertentu dalam naskah semitik, sehingga menimbulkan terjemahan yang kurang tepat. Akibatnya, timbullah berbagai perbedaan versi. Namun ini bukan kesegajaan.
Dalam Kitab Perjanjian Baru Semitik yaitu Shem Tov, Du Tillet, dll. Nama Yahweh dituliskan dengan secara langsung maupun tidak langsung.
-->Versi Munster menggunakan “YHWH” [],
--> Versi Shem Tov menggunakan “H” [h],
--> Versi Du Tillet menggunakan “YYY” []
--> sementara Peshitta menggunakan “MAR-YA” [].
Contoh: Dalam Matius 1:24 pada frasa “Malaikat TUHAN”. Dalam naskah Yunani tertulis, “aggelos kuriou [a;ggeloj kuri,ou], sementara dalam naskah Munster, dipergunakan frasa utuh, “Malak YHWH” [;], sementara versi Peshitta menggunakan frasa, “Malakah Mar-Ya” [].
Pada Abad ke-20 ini, telah banyak bermunculan Kitab Suci yang memulihkan eksistensi nama Yahweh dalam Kitab Perjanjian Baru dan memunculkan corak semitiknya. Al.,
1. Hebraic Root Version Scriptures, oleh DR. James Trimm.
2. Lalu Restoration Scriptures, oleh Rabbi Moshe Yoseph Koniuchowsky.
3. Kemudian The Scriptures, oleh Institute Research Scriptures, dll.
Merujuk pada terjemahan Kitab Suci oleh DR. James Trimm, yaitu Hebraic Root Version Scriptures, maka nama Yahweh tertulis sebanyak 210 kali dalam keseluruhan Kitab Perjanjian Baru [f11]
Semua Nama Harus Diganti?
Pada halaman 17 dikatakan, “Mengingat nama ‘Elohim’ sebelumnya juga dikenal sebagai salah satu nama berhala atau dewa di Kanaan, konon nama ‘Yahweh’ juga merupakan sesembahan orang Mesir dan Mesopotamia kuno [ada inskripsi-inskripsi purba yang menyatakan ini]. Itu terjadi sebelum ‘Yahweh’ menjadi nama yang ‘kudus’ yang mengacu pada Pencipta Langit dan Bumi”.
Tanggapan saya:
Sungguh menyedihkan, jika penulis artikel ini adalah seorang teolog. Betapa kedangkalan wawasan dan literatur, telah mendorongnya untuk membuat pernyataan senaif ini. Renungkan, patutkah kita menyembah Tuhan yang namanya merupakan pinjaman dari pemeluk agama lain? Bagaimana mungkin Yahweh yang menyatakan diri-Nya sebagai Elohim/Sesembahan leluhur Yishrael [Kel 3:15] dan Elohim yang mengatasi elohim bangsa-bangsa [Ul 10:17] dan terbukti telah mengalahkan Baal [1 Raj 18:20-40], dianggap oleh penulis artikel ini sebagai “nama tuhan pinjaman” dari Mitsrayim dan Mesopotamia? Ini yang saya sebutkan “Mitos-mitos akademik diseputar nama Yahweh” [f12], yang dipublikasikan oleh para teolog-teolog liberal dan anti semit.
Menengok Fakta Sejarah?
Pada halaman 19 dikatakan, “Sedang mengenai pemakaian istilah Allah di lingkungan Kristen, dibuktikan dari sejumlah inskripsi pra Islam yang ditemukan di sekitar wilayah Siria. Ada inskripsi yang penting, yaitu inskripsi Zabad [thn 512 M] yang diawali dengan rumusan kata ‘Bism-al-ilah’ dengan nama ‘al-lah’ – bentuk singkatnya “Bismillah” – yang disusul dengan nama diri orang-orang Kristen Siria…Dan bagi umat Kristen Ortodoxs Siria yang setia mempertahankan bahasa Arami atau Suryani sebagai ‘lughat As Sayid Al masih’ [bahasa asli yang dipakai Kristus], istilah Allah sejak sebelum jaman Islam sudah dipakai. Lebih-lebih karena kedekatann bentuknya dengan istilah Arami ‘Alaha’ yang dipahami punya makna yang sama dengan Allah”.
Tanggapan saya:
Berbicara mengenai asal-usul dan filologi nama Allah, memang masih banyak kontroversi. Pendapat Anda yang mengatakan bahwa nama Allah adalah bentukan dari Al dan Ilah, hanyalah salah satu dari sekian banyak pendapat. Dalam makalah yang saya presentasikan di Auditorium Duta Wacana, Yogyakarta, saya mengulas mengenai dua kelompok teori asal-usul nama Allah sbb:
Pandangan Islam: Allah, berasal dari kata Al [definite article, The] dan Ilah [generic name, God]. Penyingkatan dari kata Al dan Ilah menjadi Allah, untuk menandai sesuatu yang telah dikenal. Dalam perkembangannya, untuk mempermudah hamzat yang berada diantara dua lam [huruf ‘LL’], huruf ‘I’ tidak diucapkan sehingga berbunyi Allah dan menjadi suatu nama yang khusus dan tidak berakar [f13]. Ada pula yang berpendapat bahwa Allah berasal dari Al Ilahah, Al Uluhah dan Al Uluhiyah yang bermakna ibadah atau penyembahan [f14]. Yang lain mengajukan bahwa Allah berasal dari kata Alaha yang berarti menakjubkan atau mengherankan karena segala perbuatannya [f15]. Sementara ada yang berargumentasi bahwa Allah berasal dari kata, Aliha ya’lahu yang bermakna tenang [f16]. Kelompok pemikir dari Kufah mengatakan bahwa Allah, berasal dari Al-Lah, yang diambil dari verba noun lah yang berasal dari kata lahaya yang bermakna menjadi tinggi [f15]. Sedangkan Ibn Al Arabi menyatakan bahwa Tuhan itu tidak bernama, tetapi Dzat yang dinamakan oleh umatNya. Penamaan terhadap Tuhan, berarti melimitasi eksistensi Tuhan [f17].
Pandangan Kristen: Ada yang beranggapan bahwa Allah adalah berasal dari sumber Syriac, Alaha [f18]. Sementara yang lain berpendapat bahwa Allah berasal dari akar kata rumpun semitis El, Eloah dan Elohim serta Alaha. Bentuk Arabnya Ilah, lalu mendapat imbuhan Al yang berfungsi sebagai definite article [The God- Al Ilah-Allah] [f19]. Kata Allah berasal dari Al dan Ilah. Akar kata ini terdapat dalam semua bahasa semitis, yaitu dua konsonan alif dan lam serta ucapan yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai dengan phonetik masing-masing [f20]. George Fry dan James R. King menyampaikan, “the name by which God is known to muslim, Allah is generally thought to be the proper noun form of the Arabic word for God, Ilah. Al, meaning The ini Arabic word. This word is related to the Hebrew from El and Elohim [f21]. J. Blau menjelaskan bahwa kata Allah adalah murni dari konteks Arab dan bukan dari sumber Syriac [f22].
Saya keberatan jika nama Allah merupakan bentukan dari Al dan Ilah dikarenakan:
--> Allah, bukan bentukan atau kontraksi dari Al dan Ilah. Jika benar Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa logika ini tidak berlaku untuk kata Arab lainnya seperti, Al dan Iman, mengapa tidak menjadi Alman? Al dan Ilmu mengapa tidak menjadi Almu? Bambang Noorsena pernah membantah dengan menyatakan bahwa kasus penyingkatan Al dan Ilah, hanya terjadi dalam bahasa Arab [f23]. Renungkan: mengapa penyingkatan ini menjadi sangat istimewa pada kata Al dan Ilah?
--> Allah, bukan berasal dari rumpun kata semitis El, Eloah dan Elohim. Jika Allah adalah rumpun semitis dengan istilah Ibrani, El, Eloah dan Elohim, maka bentuk gramatika jamak untuk Allah itu apa? Dalam terminologi Hebraik, penjamakan kata benda, selalu digunakan akhiran “im” [jika gendernya maskulin] atau “ot” dan “ah”, [jika gendernya feminin] [f24]. Kata “khay” [hidup] bentuk jamaknya adalah “khayim” [kehidupan]. Kata “Eloah”, bentuk jamaknya “Elohim”. Demikian pula dalam bahasa Arab, istilah Ilah [yang sepadan dengan Eloah], bentuk jamaknya adalah Alihah [Ilah-ilah]. Adakah bentuk jamak dari Allah? [f25] Renungkan: Adakah tata bahasa yang membenarkan bahwa nama diri ditulis dalam bentuk jamak?
Dalam Kitab Suci TaNaKh, tidak ada ditemui kata Allah dalam konotasi nama diri. Dalam naskah TaNaKh berbahasa Ibrani, ada sejumlah kata yang berkonotasi dengan Allah, namun sesungguhnya bukan. Contoh:
Alla [], huruf ‘h’ diakhir kata tidak diucapkan karena tidak ada titik pengeras atau dagesh forte. Artinya, “sumpah” [1 Raj 8:31]
Alla [], huruf ‘h’ akhir tidak diucapkan. Artinya, “pohon besar” [Yos 24:26]
Ela [], huruf ‘h’ diakhir kalimat tidak diucapkan. Artinya, “nama suatu kaum” [Kej 34:41] dan “nama raja di Israel” [1 Raj 16:6-8]
Elaha [, Dan 5:21], Elah [, Dan 2;47a], Elahakhon [ Dan 2:47b], adalah varian bahasa Aram yang artinya sama dengan Eloah dalam bahasa Ibrani.
-->Baik Elah, Elaha atau Elahakhon dapat menunjuk pada terminologi Sesembahan Israel Yang Sejati atau terminologi umum untuk sesembahan diluar Israel
Eloah [hvlx, Hab 3:3], Elohei [, 1 Taw 16:26], Elohim [, Kej 1:1], artinya Yang Maha Kuasa atau Sesembahan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan God dan dalam bahasa Yunani diterjemahkan Theos.
El [, Kej 33:20] artinya Yang Maha Kuat
Dalam Kitab Perjanjian Baru [Beshorah-Injil], tidak ditemui kata-kata yang menunjuk pada nama diri Allah. Ketika Yahshua [Yesus] berteriak di kayu salib saat kematianNya, Dia berseru: “Eli-Eli Lama Shabakhtani?” [Mat 27:46]. Kata “Eli’, merupakan bentuk singkat dari “Elohim” dan “Anokhi” atau “Ani” [saya]. Kebiasaan menyingkat kalimat seperti ini biasa terjadi dalam tradisi Israel. Perhatikan dalam Keluaran 15:2 yang selengkapnya dalam naskah Hebraik: “ze Eli, weanwehu Elohei abi waaromenhu”. Kata “Eli” dalam ayat tersebut diartikan “Sesembahanku” atau “Tuhanku”. Seruan Eli-Eli lama sabakhtani dalam Matius 27:46 dalam Kitab Suci berbahasa Arab dituliskan, “Ilahi-Ilahi limadza taroktani?” dan bukan “Allahi-Allahi limadza taroktani?”.
Dengan demikian, padanan untuk istilah Arab Ilah adalah Eloah atau Elohim dalam bahasa Ibrani. Dan jika di Indonesiakan seharusnya diterjemahkan Tuhan atau sesembahan dan bukan Allah, karena Allah adalah nama Ilah atau nama Eloah atau nama Tuhan Bangsa Arab pra Islam dan yang dianut Bangsa Islam.
Patut diakui adanya fakta, bahwa di Arabia Utara pra Islam, telah ditemui sejumlah komunitas Kristiani non Khalsedonian yang telah lebih dahulu menggunakan nama Allah, dalam pengertian Al Ilah yang Esa, sebagaimana ditemui dari sejumlah inskripsi yang menurut Bambang Noorsena dipengaruhi Kekristenan [f26]. Adapun inskripsi-inskripsi tersebut adalah :
-->Inskripsi Namarah [th 328 Ms], ditulis dalam huruf Aram Nabatea, sebuah peralihan ke huruf Arab.
-->Inskripsi Ummul Jimmal [th 250 Ms], ditulis dalam huruf Aram.
-->Inskripsi Zabad [th 512 Ms], ditulis dalam huruf Yunani, Aram dan Arab. Ditemukan disebuah gereja kuno dengan diawali kata, “Bismi’llah”.
-->Inskripsi Haran [th 568 Ms], ditemukan disebuah gereja kuno dengan huruf Arab serta ada tanda salibnya, sebagai ciri kekristenan.
-->Inskripsi Ummul Jimmal [th 500 Ms] dengan tulisan Arab, “Allah Ghafran” [Allah mengampuni]
Terhadap fakta ini, terlebih dahulu kita melakukan kilas balik. Komunitas Yahudi dan Kristen telah ada di Arabia sekitar Abad 1 Ms. Sedangkan nama Allah yang terkadang dihubungkan dengan eksistensi Ka’bah pra Islam, telah lama ada jauh sebelum komunitas Kristiani maupun Yahudi. Konsekwensi logisnya, tentulah Yahudi dan Kristenlah yang telah mengadopsi kata tersebut dan menghubungkannya dengan terminologi Ibrani Eloah dan Elohim.
-->Renungkan: Jika telah terjadi proses adopsi terminologi, berarti penggunaan nama Allah dalam komunitas Yahudi dan Kristen Arab pra Islam, tidaklah orisinil. Apalagi nama Allah, bagi komunitas Arabia pra Islam, dihubungkan dengan nama dewa-dewa tertentu yang bersifat paganistik, sebagaimana telah dipaparkan diawal kajian ini.
Penutup
Demikianlah tanggapan saya atas penulisan artikel “Mengapa Harus Yahweh?”. Apabila ada tanggapan balik, dapat mengirimkan surat ke:
Footnote:
[f1] : Teguh Hindarto,MTh., Mendefinisikan, Memetakan, Mengorganisir, Memobilisir Pergerakan Mesianik di Indonesia, Nafiri Yahshua Ministries, 2007
[f2] : Harap memperdalam fenomena dan pengajaran Mesianik di www.messianic-indonesia.com, www.torah-truth-seeker.org, www.torahcommunity.org, www.torahresource.com
[f3] : BibleWorks 6, 2003
[f4] : Understanding the Difficult Word of Jesus, 2001, p.42
[f5] : F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, BPK, 1993, hal 11
[f6] : Panarion 29:9:4
[f7] : DR. James Trimm, Textual Criticsm of The Semitic New Testament, www.nazarene.net/hantri/FreeBook/textcom.pdf dan www.torahresource.com
[f8] : Ibid.
[f9] : Ibid.
[f10] : Ibid.
[f11] : Teguh Hindarto, Bahasa Tuhan, Yogyakarta: ANDI Offset, 2001, hal 47
[f12] : Teguh Hindarto,MTh., Demitologisasi diseputar Nama Yahweh & Allah, Seminar Tgl 20 November 2004, di Universitas Indonesia
[f13] : DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9
[f14] : Ibid
[f15] : Ibid
[f16] : Ibid
[f17] : DR. Djaka Soetapa, Penterjemahan Kata Yahweh dan Elohim menjadi TUHAN dan Allah dalam Perspektif Teologi Islam, hal 2 [Makalah disampaikan pada Sarasehan Terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN dan ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni 2001]
[f17] : DR. Kautzar Azhari Noer, Tuhan Kepercayaan [Artikel Koran Jawa Pos, 23 September 2001
[f18] : Arthur Jefrey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Baroda:Oriental Institute, 1938, p.66
[f19] : Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Institute for Syriac Christian Studies, Malang, 2001, hal 9
[f20] : Olaf Schumman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174
[f21] : George Fry and James R. King, Islam: A Survey of The Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
[f22] : Arabic Lexicographical, Miscelani, 1972, p. 173-190
[f23] : Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 16-17
[f24] : DR. D.L. Baker, Pengantar Bahasa Ibrani, BPK 1992, hal 89
[f25] : Teguh Hindarto, STh., Kritik dan Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH. [Artikel di Majalah BAHANA No 09, 2001, hal 13]
Teguh Hindarto, MTh
Nafiri Yahshua Ministry
Re-posted with permission from: http://messianic-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=125:tanggapan-terhadap-buletin-hikmat&catid=36:apologetik&Itemid=55
Finally
I want to say:
"YHWH ELOHEINU WE AVOTENU YEVAREK ETKEM BE SHEM YAHSHUA
MOSHIENU.
AMN.”