Redefinisi Nama 3: TUHAN YANG MENYATAKAN KEBERADAAN DIRI-NYA
Seri Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristiani
PROBLEMATIKA NAMA TUHAN
Ada beberapa kelompok pemikir yang menolak anggapan bahwa Yang Maha Kuasa atau Tuhan itu memiliki sebuah nama. Diantaranya adalah Komarudin Hidayat dalam bukunya, Agama Masa Depan. Beliau menjelaskan : “Persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah, apakah hubungan antara nama [ism, name] dan yang dinamakan [al musama, the name]? Apakah nama identik dengan yang diberi nama? Apakah ia sekedar tanda petunjuk? Seberapa jauh sebuah nama bisa menunjuk dan menjelaskan sesuatu yang ditunjuk? Karena Tuhan itu Maha Absolut dan Maha Gaib, seberapa jauh bahasa manusia mampu menangkap dan memahami Tuhan?…disana tetap terdapat suatu jarak antara proposisi kognitif yang dibangun oleh nalar manusia disatu sisi san hakikat Tuhan yang tidak terjangkau pada sisi lain?” [f1] Pendapat diatas didasarkan pada pemikiran seorang Sufi bernama Ibn Al Arabi. Beliau menjelaskan bahwa Tuhan tidaklah memiliki sebuah nama. Jika Tuhan memiliki sebuah nama, berarti Tuhan dibatasi oleh nama tersebut. Jika Tuhan dibatasi, berarti bukan Tuhan[f2].
YANG MAHA KUASA MENYATAKAN SIAPA DIRINYA
Kitab Suci TaNaKh dan Besorah memberikan sebuah eksposisi yang tegas dan kongkrit, mengenai bagaimana Tuhan memperkenalkan hakikat diriNya dan keberadaanNya serta namaNya. Realitas ini dengan jelas diungkapkan dalam Keluaran 3:13-15. Ketika Musa hendak diutus Yang Maha Kuasa, dia memberanikan diri bertanya mengenai nama pribadi Yang Maha Kuasa yang telah mengutusnya. Musa bertanya kepadaNya, “Mah shemo?” Dalam tata bahasa Ibrani, untuk menanyakaan sesuatu atau seseorang, biasanya digunakan bentuk tanya “mi?. Namun penggunaan kata “ma” , bukan hanya bermaksud menanyakan nama secara literal namun hakikat atau pribadi dibalik nama itu[f3]. Pertanyaan Musa adalah pertanyaan yang bersifat Ontologis Eksistensial yang juga mewakili pertanyaan kita tentang namaNya.
Jawab atas pertanyaan diatas, rupanya telah berusaha dijawab oleh manusia yang relatif dan telah kehilangan kemuliaan Yang Maha Kuasa, sepanjang abad. Uraian-uraian filosofis yang sempat dikutip dan dipaparkan oleh Komarudin Hidayat, merupakan salah satu upaya yang dilakukan manusia untuk memahami keberadaan Sang Pencipta. Kesimpulan mereka, bahwa realitas Ketuhanan dialami oleh hampir seluruh sistem religi. Oleh karenanya, klaim pengalaman akan Keilahian dalam suatu sistem keyakinan, tidak dapat dibenarkan. Tuhan itu universal dan ada dalam setiap agama-agama. Nama Tuhan dalam agama-agama bukanlah namaNya yang sebenarnya namun simbol ghaib yang dinamakan. Pernyataan diatas, akan dihadap mukakan dengan pernyataan Kitab Suci. Keluaran 3:14 merekam jawaban Yang Maha Kuasa kepada Musa.
Dalam teks Ibrani dijelaskan, “Ehyeh Asyer Ehyeh”. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan dengan “Aku adalah Aku”. Terjemahan ini kurang memadai maksud yang dikandung dalam bahasa aslinya.
DR. Harun Hadiwyono dalam bukunya Iman Kristen, menyatakan bahwa kata “Ehyeh” bermakna “Aku Berada” . Akar kata “Ehyeh” berasal dari “Hayah” yang menurut para ahli merupakan rangkuman dari kata “berada” atau “menjadi” dan “bekerja” [f4] G. Johanes Boterweck dan Helmer Ringren dalam Theological Dictionary of The Old Testament menjelaskan, bahwa kata “Hayah” digunakan dalam Perjanjian Lama dan diterjemahkan dengan opsi sbb: {1} “Exist, be Present” {2}”Come into Being” {3} Auxilaries Verb[f5]
DR. Harun Hadiwyono selanjutnya menegaskan implikasi sebutan “Ehyeh” oleh Yang Maha Kuasa, yaitu bahwasanya Tuhan bagi Musa dan Israel bukanlah Tuhan yang tidak bergerak, bukan Tuhan yang mati melainkan Tuhan yang hidup dan penuh dinamika[f6] Ungkapan dalam Keluaran 3:14 merupakan suatu penyingkapan tabir kepada manusia, dalam hal ini kepada Musa, mengenai hakikat Yang Maha Kuasa dan keberadaanNya yang dituangkan dalam ungkapan kata kerja “Ehyeh” . Banyak yang memahami ayat ini sebagai penolakan Tuhan untuk menjawab pertanyaan Musa, sehingga Dia memberikan teka-teki dengan ucapan “Ehyeh” . Demikianlah Stefan Leks dalam bukunya, Menuju Tanah Terjanji, menjelaskan:
“Maka jelaslah ungkapan Alkitabiah ini menegaskan akan adanya Tuhan, tetapi sebenarnya tidak memberi jawaban siapakah nama Tuhan itu” [f7]
Pengungkapan nama Tuhan, terekam dalam Keluaran 3:15 yang dalam teks Hebraik berbunyi: “Yahweh Elohei Avotekem, Elohei Abvraham, we Elohei Yitshaq we Elohei Yaakov, shelakhmi aleikem. Ze shemi le olam we ze zikri le dor dor”. Frasa “Ze shemi le olam we ze zikri le dor dor” , meredam semua perbantahan manusia tentang namaNya. Musa tidak berspekulasi tentang namaNya. Juga tidak menamai gejala ajaib yang ada dihadapanNya, namun Dia mendengar Yang Maha Kuasa menyatakan namaNya.
Nama Yang Maha Kuasa adalah YHWH. Ada banyak penafsiran tentang Nama YHWH. Ada yang berpendapat bahwa Tetragrammaton [empat huruf] tersebut diucapkan Jehovah. Adapula yang berpendapat Yahuweh dan Yahveh. Namun indikasi kuat pengucapan YHWH adalah Yahweh, sebagaimana disitir dalam Ensiklopedia Judaica Vol III pada ulasan sebelumnya. Fakta ini diperkuat dengan ungkapan pujian “HaleluYah” yang merupakan bentuk singkat dari “Hallel” [pujilah] dan “Yah” [Yahweh]. Demikian pula nama-nama para nabi di Israel mengandung unsur-unsur nama Yahweh al., ObadYah, NehemYah, ZekharYah, MikhaYah, dll. Implikasi teologis Keluaran 3:15 adalah Yang Maha Kuasa memiliki suatu nama. Nama mencerminkan otoritas dan pribadi yang tersembunyi. Pengungkapan ini menepis spekulasi mengenai nama Tuhan yang dianggap beragam.
NAMA YAHWEH DALAM KITAB PERJANJIAN BARU
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Kitab Suci TaNaKh dan Besorah ditulis dalam bahasa Ibrani. Mengapa demikian? Karena sejarah ketuhanan beserta pewahyuannya terjadi dalam konteks peradaban Ibrani, melalui bangsa Ibrani, melalui para nabi yang berbahasa Ibrani [Kel 3:18; Yes 2:3; Yoh 4:22; Mzm 147:19-20]. Bahkan Kitab Perjanjian Baru yang selama ini diklaim dituliskan dalam bahasa aslinya yaitu Yunani, mulai mengalami peninjauan ulang. Fakta dilapangan membuktikan bahwa Perjanjian baru dituliskan dalam Bahasa Yunani. Hal ini ditunjukkan dalam jumlah codek, manuskrip dan papirus serta perkamen yang merekam salinan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Namun beberapa ahli Perjanjian Baru mulai banyak yang meragukan pernyataan bahwa Bahasa Yunani sebagai bahasa asli Perjanjian Baru.
David Bivin dan Roy Blizard, dalam bukunya Understanding The Dificult Word of Jesus menjelaskan sbb:
“Many scholar in Israel now convinced the spoken and writen language of the Jews in the land of Israel at the time of Jesus was indeed Hebrew; and that sinoptic Gospels were derived from original Hebrew sources” [f8]
Pernyataan diatas, didukung oleh Jehoshua M. Grintz[f9] dan juga Prof David Flusser[f10] serta Mathew Black[f11]. Pernyataan mereka merujuk pada kesaksian tertulis para penerus tradisi rasuli seperti Ireneus, Origen, Eusebeius, Ephipanius serta Jerome[f12]. Baru-baru ini dipublikasikan terjemahan karya DR. James Trimm selama 10 tahun. Judul karya Trimm bernama, The Hebraic Root New Testament Version. Menurut Trimm, naskah terjemahannya, didasarkan pada manukrip Perjanjian Baru berbahasa Ibrani dan Aram yang usianya lebih tua dari naskah Tunani. Rujukan Trimm didasarkan pada naskah versi Shem Tob, versi Munster, versi Du Tillet serta Crawford ditambah Old Syriac serta Peshita Aramaic[f13]
Dalam naskah Ibrani-Aram Perjanjian Baru, digunakan terminologi Eloah untuk Yahweh, Adon untuk Yeshua. Bahkan nama Yahweh dicantumkan dalam beberapa nats Perjanjian Baru. Contoh:
“And was there until the death of Herod: to fulfil what was spoken from YHWH by the prophet, who said…” [MatitYah 2:15]
“How he entered the house of Eloah and ate the bread of the table of YHWH, which was not authorized to eat except for the cohenim and gave also to those who were with him?” [Markos 2:26]
“And when Yosef and Miriam had completed everything as [was] in the Torah of YHWH, they returned to Galil, to their city, Natzaret” [Luka 2:39]
“In the beginning was the Word and the Word was with Eloah and Eloah was the Word” [Yokhanan 1:1]
“That the Eloah of our Adon Yeshua the Messiah, the Father of glory, may give you the spirit of wisdom and the revelation in his knowledge” [Ephesian 1:17]
Fakta ini menyanggah bahwa dalam naskah Perjanjian Baru tidak ditemui nama Yahweh, melainkan telah diganti dengan Kurios. Penggantian nama Yahweh dengan Kurios, bukanlah kehendak Roh Kudus[f14], melainkan mengacu pada tradisi penerjemahan TaNaKh dalam bahasa Ibrani ke bahasa Yunani yang disebut Teks Septuaginta[f15]. Teks Septuaginta telah mengganti nama Yahweh menjadi “Kurios” yang artinya “Majikan” atau “Tuan” atau “Penguasa” .
NAMA YAHWEH DALAM INSKRIPSI KUNO
Bukti-bukti tidak hanya datang dari rekaman Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa Ibrani maupun Aram. Inskripsi [tulisan kuno pada batu] yang ditemukan di Timur Tengah memberikan sejumlah data dan fakta yang meneguhkan eksistensi dan penggunaan nama Yahweh dalam kehidupan zaman lampau.
Tahun 1961, pada dinding sebuah gua kuno, tidak jauh dari Yerusalem Barat Daya, ditemukan prasasti Ibrani dari Abad VIII sm. Prasasti ini memuat pernyataan, “Yahweh adalah Elohim dari seluruh bumi” [f16]
Tahun 1966, di Israel Selatan, yaitu Arad, ditemukan keramik dengan tulisan kuno Ibrani. Umur tulisan paruh kedua Abad VII sebMs. Salah satu tulisan itu adalah surat pribadi kepada seorang bernama Eliashib. Tulisan tersebut berbunyi: “Kepada Tuanku, Eliashib, kiranya Yahweh menuntut perdamaian dari anda” . Kalimat tersebut diakhiri dengan, “ia berdiam dalam rumah Yahweh” [f17]
Tahun 1935-1938, ditemukan surat-surat dalam kepingan keramik di Lachis. Surat itu nampaknya ditulis oleh seorang pejabat pos depan Yudea kepada atasannya selama perang antara Israel dan Babel, akhir Abad VII sm. Dari delapan kepingan, tujuh diantaranya memulai beritanya dengan salam: “Biarlah Yahweh membuat Tuanku melihat musim ini dalam keadaan darurat” [f18]
Batu Moab yang tersimpan di Musium Louvre Prancis menuliskan nama Yahweh. Pada batu tersebut merekam ucapan Raja Nebo saat menghancurkan Bait Suci, “Aku merebut disana altar Yahweh dan menyeretnya dihadapan Kamos” [f19]
Pdt. Charles Forster melaporkan temuan prasasti Sinai yang melaporkan terbelahnyaa Laut Teberau dan berjalannya orang Israel didalamnya. Pada prasasti tersebut dikatakan bahwa “Yahweh adalah pelindung dan pendamping mereka” [f20]
NAMA YAHWEH DALAM TERJEMAHAN MODERN
Akhir-akhir ini telah diterbitkan Kitab Suci terjemahan berbahasa Inggris yang mencantumkan nama Yahweh dan Yahshua [Yeshua] dalam teks terjemahannya. Adapun Kitab-kitab tersebut al., THE SCRIPTURES, The Institute for Scripture Research, Northriding Republic of South Afrika, 2000. THE WORD OF YAHWEH, Assembly of Yahweh, 2000 THE HEBRAIC NEW TESTAMENT VERSION, Society for Advancement of Nazarene Judaism, 2001. THE RESTORATION SCRIPTURES, YATI Publishing Margate FL, North Miami Beach, Florida, 2004.
Di Indonesia ada usaha untuk mengembalikan nama Yahweh dan Yahshua [Yeshua] antara lain dengan menerbitkan KITAB SUCI TORAT DAN INJIL, Beth Yeshua ha mashiah, 2000. Ada lagi KITAB SUCI UMAT PERJANJIAN, jaringan Gereja-gereja Pengagung nama Yahweh, 2002. Karena berbagai kendala teknis, maka kehadiran Kitab ini di Indonesia, khususnya dibeberapa wilayah, masih menimbulkan kontroversi.
KESIMPULAN
Fakta historis dan etimologis, telah membuktikan bahwa nama Allah bersumber dari dunia Arab pra Islam. Upaya menghubungkan akar kata Allah, dengan istilah El, Eloah dan Elohim dalam tradisi semitik, masih menimbulkan pro dan kontra yang belum final. Penggunaan nama Allah dalam tradisi Kristen Arabia tidak orisinil, melainkan adopsi bahasa. Demikian pula penggunaannya dalam tradisi Kristen di Indonesia.
Eksposisi exegetis sejumlah nats dalam TaNaKh dan Perjanjian Baru, mengarah pada pernyataan konklusif bahwa Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, Bapa Surgawi yang telah mengutus PutraNya Yang Tunggal adalah Yahweh. Realitas ini perlu ditanggapi oleh gereja atau komunitas Kristiani dengan melakukan usaha redefinisi dan rekonsepsi terhadap nama Allah dan mulai memberi perhatian akan urgensi serta relevansi penggunaan nama Yahweh dalam teks terjemahan Kitab Suci dan devosi komunal [ibadah, pujian, doa].
Upaya redefinisi adalah upaya yang selaras dengan pernyataan Yahshua [Yesus] sebagaimana disabdakan, “barangsiapa tinggal dalam FirmanKu, Dia akan mengetahui Kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan diriNya” [Yoh 8:32]. Demikianlah rasul Paul menjelaskan, “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami betapa lebarnya dn panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Mesias [Kristus] dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melapaui segala pengetahuan” [Ef 3:18-19]. Sampai dimanakah pengenalan dan pengetahuan serta pemahaman akan Kebenaran dan kasih Mesias? Tidak ada batasnya. Disinilah landasan epistemologis perlunya upaya tanpa henti redefnisi pemahaman, pengenalan dan pengetahuan terhadap Kebenaran [dan bukan Kebenaran itu sendiri yang diredefinisi, karena Kebenaran tetap ada dan tiada perubahan]. Kesimpulan ini saya tutup dengan mengutip tulisan DR. Dieter Becker. Beliau menjelaskan bahwa salah satu fungsi dogmatika adalah: “fungsi produktif kontekstual,…Dogmatika harus menginterpretasikan Kitab Suci dan dogma terus menerus secara baru. Dogmatika tidak boleh tinggal dalam pertimbangan-pertimbangan historis saja. Keputusan-keputusan dari sejarah gereja dan sejarah misi membutuhkan penerjemahan kebenarannya kedalam situasi yang baru[f20]. Bersediakah kita dengan keberanian melakukan lompatan eksistensial untuk meredefinisi berbagai dogmatika yang telah tidak relevan dalam kehidupan beriman?
Footnote: [f1] : Gramedia Pustaka Tama, 2003, hal 73
[f2] : Ibid., hal 80
[f3] : J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jild I, Yayasan Bina Kasih OMF, 1994, hal 39
[f4] : BPK 1998, hal 39
[f5] : Vol III, Grand Rapids Michigan, 1978, p.373
[f6] : Loc.Cit., Iman Kristen, hal 39
[f7] : Nusa Indah Ende Flores, 1978, hal 30
[f8] : Destiny Image Publishers, 2001, p.17
[f9] : Hebrew As the Spoken and Writen Language in the Last days of the Second Temple, Journal of Biblical Literature, Vol LXXIX, 1960, p.32-47
[f10] : Op.Cit., Understanding the Dificults Word of Jesus, p.18
[f11] : An Aramaic Approach to the Gospels and Act, 3 rd ed. Oxford, 1967
[f12] : Op.Cit., Undestanding the Dificult Word of Jesus, p.23-24
[f13] : The Hebraic Root New Testament Version, Society for the Advancement of Nazarene Judaism, 2001, p.xxviii-xxxi
[f14] : Pdt. Josias Lengkong, MTh., Ph.D., Solusi Atas Kontroversi Penggunaan Nama Allah, hal 2 [makalah disampaikan di Hotel Indonesia, 25 Agustus 2000]
[f14] : Yisrael Hawkins, Why Aren’t Your Prayer Answered Today? The House of Yahweh Publications, 1995, p.10
[f15] : Israel Explorations Journal, Vol III, No 2
[f16] : Israel Explorations Journal, Vol XVI, No 1
[f17] : Nama Ilahi Yang Akan Kekal Selamanya, Watch Tower Bible & Tract Society of pensilvania, 1984, hal 13
[f18] : Ibid.
[f19] : Grant R. Jefrey, Tanda Tangan Allah, YPI Immanuel, 1999, hal 62-64
[f20] : DR. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika, BPK 1993, hal 7
Pdt. Teguh Hindarto, MTh.
Disampaikan pada Forum Panel Diskusi
Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta
Tgl 20 Oktober 2003
Re-posted with permission from: Pdt. Teguh Hindarto, MTh.
Finally I want to say:
"YHWH ELOHEINU WE AVOTENU YEVAREK ETKEM
BE SHEM YAHSHUA MOSHIENU.
AMN.”