Redefinisi Nama 2: BAGAIMANA NAMA ALLAH DAPAT TERCANTUM DALAM TERJEMAHAN KITAB SUCI LEMBAGA ALKITAB INDONESIA?
Seri Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristiani
PEMAHAMAN TENTANG TERMINOLOGI IBRANI – YUNANI UNTUK KETUHANAN
Kitab Suci TaNaKh dan Besorah, dituliskan dalam bahasa Ibrani dan sebagiannya dalam bahasa Aram. Kemudian disalin dalam Lingua Franca [bahasa percakapan] pada waktu itu, yaitu bahasa Yunani. Inti keseluruhan Kitab Suci hendak memberikan kesaksian mengenai karya penyelamatan Elohim Yahweh lakukan mengenai suatu bangsa, yaitu Israel atau bangsa Ibrani. Dalam periode leluhur Israel, Elohim Yahweh berbicara kepada bangsa Israel untuk menjadikan alat penyelamatan, melalui pengutusan Abraham, Ishak dan Yakub beserta keturunannya. Mereka berbicara tentang Juruslamat [Mesias] dalam bentuk profetik dan tipologis.
Dalam zaman Perjanjian Baru, Elohim Yahweh berbicara kepada Israel, melalui PutraNya Yang Tunggal, Mesias yang dijanjikan. Adapun Mesias lahir dari keturunan Daud [Mik 5:1], secara antropologis, Mesias berasal dari suku Yhuda [Ibr 7:14]. Ajaran Sang Mesias, Yahshua [Yesus] diucapkan dalam bahasa Ibrani [dengan beberapa dialek Aram], kepada orang-orang Ibrani. Ajaran Sang Mesias dituliskan kemudian dalam bahasa Ibrani. Paska kenaikkan Mesias ke Sorga dan berita Kabar Baik harus disampaikan kepada bangsa-bangsa, maka Kabar Baik mulai disalin dan diterjemahkan dalam bahasa Yunani sebagai lingua franca pada waktu itu, dikarenakan Yerusalem merupakan wilayah jajahan Romawi yang menerapkan budaya Helenisme dengan bahasa pengantar Yunani.
Dalam Kitab TaNaKh, dapat dijumpai sejumlah istilah Ketuhanan dalam bahasa Ibrani, yaitu: El [Kej 33:20], Eloah [Hab 3:3], Elohim [Kej 1:1], Adonai [Yes 61:6]. Adapun nama Elohim yang disembah Israel adalah bernama Yahweh [Kel 3:15,18].
El : Yang Maha Kuat
Eloah : Yang Maha Kuasa. Sesembahan, Tuhan
Adon : Tuan
Adonai : Majikan, Penguasa, Tuhan
Elohim : Memiliki makna ganda. Pertama, merupakan istilah netral untuk mensifatkan tentang sesuatu yang disembah, baik oleh orang Israel yang monoteistik maupun diluar Israel yang politeistik. Contoh: “ki kol elohei ha amim elilim…” [1 Taw 16:26] dan “we syem elohim akherim lo tazqiru…” [Kel 23:13]. Kedua, untuk menandai jamak kehormatan bagi Yahweh Sang Pencipta. Contoh: “Yahweh, hu ha Elohim” [1 Raj 18:39].
Dalam Perjanjian Baru, padanan yang setara dengan Eloah atau Elohim, dalam bahasa Yunani adalah Theos [Yoh 1:1] dan Kurios [Yoh 4:11] serta Despotes [2 Ptr 2:1]. Naskah Septuaginta, yaitu Kitab TaNaKh dalam bahasa Yunani yang disusun pada Abad 3 seb.Ms, menggunakan kata ganti Theos setiap kali menerjemahkan Eloah atau Elohim. Setiap suku bangsa memiliki sejumlah terminologi khas yang orisinil untuk mensifatkan mengenai sesuatu yang disembah, yang mana setara dengan istilah El, Eloah, Elohim dan Theos, Kurios. Di Eropa digunakan istilah God, di Spanyol digunakan istilah Dei, dibeberapa suku di Indonesia seperti Nias, digunakan kata Lowalangi, di Batak Karo digunakan Jahoba, di Kalimantan digunakan Jubata, di Ambon digunakan Tete Manis, di tanah Jawa digunakan banyak nama al, Murbeng Jagad, Hyang Widi, dll.
KRONOLOGI HISTORIS MASUKNYA NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN KITAB SUCI
Dalam buku, Hidup Bersama di Bumi Pancasila, diterangkan bagaimana kronologi masuknya agama Islam dan Kristen di Nusantara[f1]. Dijelaskan dalam buku tersebut bagaimana Islam telah lebih dahulu masuk ke Nusantara dalam dua tahap. Tahap pertama [tidak terlalu signifikan pengaruhnya] pada Abad VII-VIII oleh pedagang Arab menuju Sumatera. Tahap kedua [signifikan pengaruhnya] pada Abad XIII dibawa oleh pedagang Gujarat yang dipengaruhi mistik Persia.
Selanjutnya Portugis yang beragama Katholik, masuk nusantara pada tahun 1512. Kemudian berturut-turut masuk armada Belanda pada tahun 1596, yang kemudian membentuk kongsi dagang VOC, pada tahun 1602. Karena kebangkrutan VOC, maka sekitar tahun 1800-an, pemerintah Hindia Belanda mulai mengambil alih kepemimpinan, termasuk masalah misi dan keagamaan. Pada masa ini, mulailah muncul lembaga misi dan proses penerjemahan Kitab Suci pun dimulai.
Merujuk pada makalah DR. P.D. Latuihamalo yang dibacakan oleh DR. Katopo dalam Sarasehan Terjemahan Alkitab mengenai kata TUHAN dan ALLAH yang diselenggarakan di Bandung, Tgl 5 Juni 2001, kita mendapatkan informasi sbb: [f2] Tahun 1629, Albert Corneliz Ruyl, seorang pegawai tinggi VOC berpangkat Onderkoftman, menerjemahkan Kitab Injil Matius dari bahasa Yunani kebahasa Melayu dan bahasa Belanda. Adapun transkripsi terjemahan mengenai konsep Ketuhanan sbb:
Theos diterjemahkan menjadi Allah [Mat 4:4]
Iesous diterjemahkan menjadi Yesus [Mat 1:1]
Christos diterjemahkan menjadi Christus [Mat 16:16]
Abraam menjadi Ibrahim [Mat 1:1]
Pada tahun 1733, Melchior Lejdecker dan H.G. Klinkert pada tahun 1879 menerjemahkan dengan pola sbb:
Theos diterjemahkan menjadi Allah [Mat 4:4]
Iesous diterjemahkan menjadi Isa [Mat 1:1]
Christos diterjemahkan menjadi Al Masih [Mat 16:16]
Sementara Bode menolak menggunakan nama Isa dan Al Masih, namun beliau tetap menggunakan nama Allah sebagai ganti Theos atau Elohim. Dikarenakan dari sejak Ruyl, Lejdecker sampai Bode, tetap menggunakan nama Allah sebagai translasi dari Theos dan Elohim, maka Lembaga Alkitab Indonesia berketetapan bahwa penggunaan nama Allah tetap sah dan relevan sebagai terjemahan untuk Theos dan Elohim Lembaga Alkitab Indonesia, yang berdiri sejak tahun 1954, tetap mempertahankan nama Allah yang sudah tercantum dalam teks terjemahan kuno diatas dengan dua pertimbangan yaitu:
Sudah lama diterima oleh umum
Allah, bukan dipahami sebagai nama diri tetapi sebagai nama jenis, sebagaimana Elohim, Theos, God, Deo
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sejak diterjemahkannya Kitab Suci dalam bahasa Portugis [th 1748-1753], sudah dipergunakan nama JEHOVAH. Pada tahun 1839, P.Janz menerjemahkan dalam bahasa Jawa dengan transliterasi JEHUWAH. Zendeling Rinsje di tanah Batak menggunakan Djahoba. Demikian pula di Nias, digunakan Jehofa. Sementara Lejdecker menggunakan HUWA untuk YAHWEH dan Klinkert menggunakan HOEWA dan JEHOEWA, TOEHAN HOEWA dan Tuhan HOEWA.
Dalam Konferensi para penerjemah Alkitab pada tahun 1952 di Jakarta, ditetapkanlah supaya nama HUWA ditiadakan dan diganti menjadi TUHAN. Alasan terhadap persoalan tersebut adalah mengacu pada disertasi doktoral DR. H. Rosin, dosen STT Jakarta, tahun 1955 di Geneva Universiteit, bahwa empat huruf [tetragrammaton] YHWH, tidak dapat diucapkan [unpronounciable]. Karena tidak dapat diucapkan, maka petunjuk terarah adalah dengan menggunakan huruf kapital semua, TUHAN. Renungkan: LAI tetap mempertahankan penggunaan nama Allah dengan alasan nama itu telah dipakai sejak Ruyl, Lejdecker, Klinkert serta Bode. Anehnya, mengapa nama Yahweh yang telah dituliskan sejak masuknya Portugis ke Indonesia, tidak dapat dipertahankan? Jika empat huruf YHWH tidak dapat diucapkan, mengapa para penerjemah diatas, bahkan penerjemah dalam bahasa daerah sudah menggunakan nama Jehovah, Jehowa, Hoewa atau Huwa? Logiskah jika Musa, Ishak dan Yakub serta leluhur Israel tidak dapat mengucapkan nama Yahweh, padahal mereka berkomunikasi dengan Sang Pencipta secara audible? Jika naskah Kitab Suci berbahasa Ibrani dapat diterjemahkan dalam berbagai bahasa, mengapa nama Yahweh tidak dapat dituliskan? Bagaimana mungkin ada bahasa yang tidak dapat diterjemahkan dan ditransliterasikan? Dengan alasan apa Sang Pencipta memberitakan namaNya yang abstrak??
MEMPERTIMBANGKAN DOKUMEN 1939
Tahun 1896, telah beredar Injil dalam bahasa Melayu dengan judul WASIYAT YANG BEHAROE: ijaitoe Segala Kitab Perdjanjian Jang Beharoe ataw Indjil Toehan kita ISA AL MASIH. Kitab ini dicetak di Amsterdam, Belanda.
Tahun 1940, akhirnya dimunculkan revisi kitab dengan jududl muka, KITAB PERDJANJIAN BAHAROE, diterjemahkan dari bahasa Grika kepada bahasa Melayoe, dikeloearkan oleh Belandja British and Foreign Bible Society, London-National Bible Society of Scotland Edinburg-Nederlandsch Bijbel genootschap, Amsterdam. Kitab ini dicetak di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Pada kata pengantar kitab terbitan tahun 1940, terlampir pandangan komite penyalin yang menuliskan pandagannya pada tahun 1939 di Sukabumi. Dalam kata pengantar tersebut, ada empat hal yang menarik untuk dicermati.
KETERLIBATAN ASISTEN MELAYU ISLAM DALAM KOMITE PENYALIN [dok, hal 1]
“Maka bagi maksud itoe, sedia ditetapkanja pada akhir tahoen 1930 soetaoe Comite Penjalin di Soekaboemi, yang sedang mengerdjakan salinan baharoe itoe dibawah pimpinan…dan berganti-ganti doea oerang assistant Melajoe djati dari tanah Melajoe…”
KESUKARAN DALAM PENERJEMAHAN DAN KEBUTUHAN UNTUK KOREKSI TANPA BATAS [dok, hal 2]
“Maka ta’dapaat tiada pembatja telah paham akan kesoekaran Comite Penjalin itoe mengadakan persatoean bahasa bagi pengertian yang am. Oleh sebab itoe djoega dipinta kepada pembatja yang insaf akan mengingatkan segala toentoetan terdjemahan yang sukar itu”.
ALLAH, NAMA TUHAN [dok. Hal 3]
“Karena ma’na Toehan menoeroet perasaan orang Arab dan orang Melajoe djati ialah Allah. Demikian djuga menurut djalan bahasa Arab dan logat Melajoe djati, adalah perkataan Allah itoe boekanja sedjenis nama yang dinamakan, seperti pada perasaan disebelah barat tentang perkataan God. Oleh jand demikian maka perkataan Allah yang bersamboeng dengan koe, moe, nja, dengan toedjoean poenja, itoe bersalahan dengan perasaan orang Melajoe yang diloear golongan Keristen”
KETERGANTUNGAN PADA BAHASA ARAB MELAYU [dok. Hal 5]
“Kadang-kadang penjalin terpaksa menggoenakan bahasa Melajoe, sebab tiada ada kata Melajoe djati yang boleh mensifatkan pengertian ataw toedjoean nas asli dengn sebetul-betulnya”
Dari eksposisi historis diatas, dapat kitaa menyimpulkan bahwa penggunaan nama Allah yang tercantum dalam Kitab Suci TaNaKh maupun Besorah, sebenarnya bermula dari proses penerjemahan dengan melalui suatu adopsi sesembahan orang Melayu yang beragama Islam. Proses adopsi tersebut, bukan didasarkan pada suatu pemahaman teologis yang mendalam, melainkan hanya didasarkan pada proses kontekstualisasi semata, tanpa mengkaji dan mempertimbangkan bahwa nama Allah bukanlah istilah pengganti yang tepat untuk Elohim, Theos atau God. Kita juga melihat bagaimana sejumlah perbendaharaan bahasa Indonesia masih sangat terbatas dan terus mengalami perkembangan sehingga mengalami kesukaran dalam penerjemahan yang mengakibatkan banyak meminjam unsur Arab. Berlandaskan kenyataan diatas, terjemahan Kitab Suci yang ada bukanlah hasil karya yang harus dikeramatkan, melainkan karya terjemahan yang harus terus diselaraskan secara relevan dengan perubahan zaman.
Masih kita jumpai dibeberapa nats Kitab Suci terjemahan LAI yang masih mengandung unsur kata yang tidak jelas maknanya seperti ‘terbantun’ [Yud 1:12], ‘galah rangsang’ [Kis 26:414], ‘mati bulur’ [Ray 4:5]. Bahkan ada sejumlah nats terjemahan yang kuirang atau tidak cocok dengan bahasa aslinya. Mengenai terminologi Ketuhanan, terasa rancu sekali jika kita menderetkan kata-kata seperti TUHAN dengan Tuhan, ALLAH dengan Allah dan allah, padahal pengucapannya sama. Bagaimana anda menjelaskan perbedaan antara ALLAH, Allah dan allah dalam terjemahan Kitab Suci berbahasa Indonesia versi LAI, padahal semua diucapkan sama?
Footnote:
Pdt. Teguh Hindarto, MTh.
Disampaikan pada Forum Panel Diskusi
Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta
Tgl 20 Oktober 2003
[f1] : Bambang Ruseno Oetomo, PSAK, 1993, hal 33-35
[f2] : Latar Belakang Historis Terjemahan LAI Mengenai Nama: YHWH=TUHAN;Elohim=Allah, PGPK, hal 1-3
Re-posted with permission from: Pdt. Teguh Hindarto, MTh.
Finally
I want to say:
"YHWH ELOHEINU WE AVOTENU YEVAREK ETKEM
BE SHEM YAHSHUA
MOSHIENU.
AMN.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar