Kamis, 27 September 2012

MENINJAU ULANG PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN VERSI LEMBAGA ALKITAB INDONESIA (LAI)

MENINJAU ULANG PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN VERSI

LEMBAGA ALKITAB INDONESIA (LAI)  



KERANCUAN TERMINOLOGIS

Lembaga Alkitab Indonesia membedakan sebutan Allah, TUHAN dan ALLAH dalam terjemahan kitab suci yang mereka kerjakan, sayangnya tidak memberikan keterangan mengapa ada pemberian huruf kapital pada kata TUHAN dan ALLAH. Namun jika kita mengkaji dengan seksama, penggunaan kata Allah dan kapitalisasi pada kata TUHAN dan ALLAH, sangatlah rancu. Di mana letak kerancuan tersebut? Mari kita mengkaji lebih jauh.

Saya kutipkan petikkan terjemahan Kitab Kejadian 15:1-21 versi Lembaga Alkitab Indonesia sbb:1

“Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan: "Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar." Abram menjawab: "Ya TuhanALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu." Lagi kata Abram: "Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku." Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: "Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu." Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: "Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya." Maka firman-Nya kepadanya: "Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu." Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Lagi firman TUHAN kepadanya: "Akulah TUHAN, yang membawa engkau keluar dari Ur-Kasdim untuk memberikan negeri ini kepadamu menjadi milikmu." Kata Abram: "Ya Tuhan ALLAH, dari manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya?" Firman TUHANTUHAN, dipotong dua, lalu diletakkannya bagian-bagian itu yang satu di samping yang lain, tetapi burung-burung itu tidak dipotong dua. Ketika burung-burung buas hinggap pada daging binatang-binatang itu, maka Abram mengusirnya. Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan. Firman TUHAN kepada Abram: "Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang bukan kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan dianiaya, empat ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda yang banyak. Tetapi engkau akan pergi kepada nenek moyangmu dengan sejahtera; engkau akan dikuburkan pada waktu telah putih rambutmu. Tetapi keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu kedurjanaan orang Amori itu belum genap." Ketika matahari telah terbenam, dan hari menjadi gelap, maka kelihatanlah perapian yang berasap beserta suluh yang berapi lewat di antara potongan-potongan daging itu. Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: "Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat: yakni tanah orang Keni, orang Kenas, orang Kadmon, orang Het, orang Feris, orang Refaim, orang Amori, orang Kanaan, orang Girgasi dan orang Yebus itu kepadanya: "Ambillah bagi-Ku seekor lembu betina berumur tiga tahun, seekor kambing betina berumur tiga tahun, seekor domba jantan berumur tiga tahun, seekor burung tekukur dan seekor anak burung merpati." Diambilnyalah semuanya itu bagi ."


Jika kita perhatikan terjemahan di atas, sejumlah kata-kata khas muncul, “Allah”, “ALLAH”, “Tuhan ALLAH”, TUHAN”. Jika seorang pengkhotbah membacakan terjemahan tersebut dan jemaat mendengarkannya, dapatkah para pendengar (silahkan Anda mengidentifikasikan diri sebagai pendengar) membedakan sebutan-sebutan di atas, meskipun dibedakan dengan huruf kapitalisasinya? Jika pengkhotbah menyebut “Tuhan ALLAH”, dapatkah pendengar membedakan dengan ketika Sang Pengkhotbah menyebut “TUHAN” (dengan huruf kapital semua) dan “ALLAH” (dengan huruf kapital semua) serta “Allah” (huruf depan saja yang kapital). Saya sangat yakin, Anda akan kesulitan untuk membedakannya, terkecuali Anda membaca sendiri terjemahan atau teks yang dibaca tersebut.

Apakah perbedaan antara sebutan “Allah”, “ALLAH”, “TUHAN”, “Tuhan ALLAH” dalam terjemahan di atas. Istilah-istilah tersebut tersebar merata dalam keseluruhan terjemahan TaNaKh oleh Lembaga Alkitab Indonesia dari Kitab Kejadian hingga Maleakhi. Dan Untuk Kitab Perjanjian Baru, dari Kitab Matius sampai Wahyu, hanya muncul kata “Allah” dan “Tuhan”. Kenyataan di atas saya namakan “kerancuan nama dan terminologi Ketuhanan”. Dalam hal ini, Lembaga Alkitab Indonesia tidak bisa membedakan nama diri (personal name) dan nama umum (generic name).

PEMAHAMAN TERMINOLOGIS TENTANG KETUHANAN

Untuk mendapatkan pemahaman yang tepat mengenai nama dan terminologi Ketuhanan, maka kita harus merujuk pada teks sumber yang berbahasa Ibrani dan Yunani serta Aramaik. Dalam bahasa Ibrani, ada beberapa istilah Ketuhanan sbb:

אלהים (Elohim) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “lamed”, “heh”, “yod” dan “mem sofit”. Elohim adalah istilah Ibrani untuk menunjukkan sesuatu yang disembah dan dianggap berkuasa. Padanan bahasa Inggrisnya, “God” dan padanan Arabnya, “Ilah” dan padanan Indonesianya, “Tuhan”. Kitab Septuaginta menerjemahkan Elohim dengan sebutan θεὸς (Theos). Langkah ini diteruskan oleh naskah Greek Perjanjian Baru, yang menerjemahkan Elohim dengan Theos. Dalam Kitab Suci, istilah Elohim, menunjuk pada Tuhan yang benar (Ulangan 10:17) namun juga menunjuk pada tuhan asing (1 Tawarikh 16:26). Dalam Kitab Suci berbahasa Ibrani, istilah Elohim muncul sekitar 6000 kali dan dalam Kitab Suci terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia diterjemahkan dengan Allah (huruf depan menggunakan kapital, Kejadian 1:1) dan allah (huruf kecil semua, Keluaran 20:3). Penerjemahan Elohim menjadi Allah adalah tidak tepat, karena Allah adalah nama tuhan orang Muslim (Qs 20:14, Qs 19:28).

אדני (Adonai) Jika dieja dari kanan ke kiri, “alef”, “dalet”, “nun”, “yod”. Istilah Ibrani Adonai, dapat disetarakan dengan “Tuan”, “Majikan”, “Penguasa”. Padanan bahasa Inggrisnya, “Lord” dan padanan bahasa Arabnya, Rabb. Septuaginta menerjemahkan Adonai dengan κυρίου (Kurios). Kitab Perjanjian Baru versi Greek mengikuti langkah ini, untuk menyebut Yahweh dengan sebutan pengganti “Kurios” dan untuk Yahshua (Yesus) Sang Mesias. Sementara padanan Indonesianya, “Tuan”. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan istilah “Adonai”, dengan “Tuhan”. Istilah “Adonai”, dapat dikenakan pada Tuhan (Maleakhi 1:6) maupun manusia (Kejadian 45:9).

יהוה (Yahweh) Dieja dari kanan ke kiri, “yod”, “heh”, “waw”, “heh”. Nama Tuhan Yang Esa (Ulangan 6:4), Tuhan Abraham, Yitskhaq dan Yaaqov (Keluaran 3:15), Tuhan Pencipta Langit dan Bumi (Yesaya 40:28), Bapa Surgawi (Yesaya 64:8). Nama Tuhan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Namun kenyataannya, hampir keseluruhan terjemahan Kitab Suci tidak Mencantumkan nama-Nya, melainkan menggantinya menjadi “LORD” (Inggris), “HERR” (Belanda), “SENIOR” (Spanyol), “DOMINI” (Latin), “RABB” (Arab) dan terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, dituliskan dengan “TUHAN” (huruf kapital semua, Yesaya 42:8). Asal usul terlupakannya nama Yahweh dimulai sejak orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada tahun 586 SM. Sejak itu mereka enggan menyebut nama Yahweh dan mengganti dengan mengucapkan Adonai, saat membaca nama Yahweh dalam Kitab Suci atau menyebutkan dalam pertemuan umum. Kemudian pada Abad III SM, orang-orang Yahudi di Alexandria yang tidak bisa berbahasa Ibrani, membutuhkan suatu terjemahan Kitab Suci berbahasa Yunani. Akhirnya, atas donatur Kaisar Ptolemaus Filadhelphus, diterjemahkanlah TaNaKh (Torah, Neviim, Kethuvim) dalam bahasa Yunani. Nama Yahweh diterjemahkan dengan KURIOS, yang sepadan dengan ADONAI. Nama kitab hasil terjemahan ini adalah Septuaginta. Ketika Agama Kristen menyebar sampai ke Eropa, Asia, Amerika, Afrika dll. Diperlukanlah suatu terjemahan Kitab Suci dalam berbagai bahasa. Demikianlah nama Yahweh kemudian diterjemahkan dengan mengikuti tradisi Septuaginta. Hasilnya, sebagaimana kita lihat di atas, nama Yahweh berubah menjadi istilah-istilah spt., RABB, LORD, HERR, DOMINI, TUHAN. Benarkah nama Yahweh tidak boleh dipanggil? Boleh! Bahkan diperintahkan. Kitab 1 Tawarikh 16:8 mengatakan, “hodu la Yahweh qiru bi shemo” yang artinya, “bersyukurlah kepada Yahweh, panggilah nama-Nya”.

Dari penjelasan di atas, kita telah melihat bahwa LAI telah menerjemahkan dengan pola sbb:
Elohim diterjemahkan menjadi Allah (Kej 1:1) dan allah (1 Taw 16:26)
Adonai diterjemahkan menjadi Tuhan (Mzm 16:2)
Yahweh dituliskan TUHAN (Yes 42:8) dan ALLAH (Yekh 37:12)
Adonai Yahweh diterjemahkan menjadi “Tuhan ALLAH” (Yes 61:1)
AKIBAT KERANCUAN TERMINOLOGI

Ketidakmengertian terhadap sejumlah terminologi Ibrani dan kekeliruan penerjemahan atas terminologi-terminologi tersebut, mengakibatkan kekacauan yang serius dalam konsep Ketuhanan Iman Kristen. Kekacauan tersebut dapat kita lihat dalam berbagai tulisan para agamana ataupun teolog Kristen ketika menerjemahkan teks-teks teologi dari bahasa Inggris. Elmer L. Town melalui bukunya, “Nama-nama Allah” mengatakan bahwa ada tiga nama Allah yang utama, yaitu “Elohim”, “Yehovah” dan “Adonai”2. Demikian pula dengan tulisan Pdt. Purwanta Rahmat, STh., yang menyatakan bahwa nama-nama TUHAN ALLAH yaitu “YAHWE” atau “YEHOWAH”, “Elohim” dan “Bapa”3. Kemudian DR. Peter Wongso menyatakan bahwa nama-nama ALLAH dalam bahasa Ibrani adalah “Elohim”, “Yahweh”, “El Shaday”. Sedangkan dalam bahasa Yunani, “Theos”, “Kurios”, “Despotis”, “Huspitos”, “Pantokrator”4. Pendapat terakhir dari DR. Dieter Becker, “Menurut Perjanjian Lama, Allah pada dasarnya Tuhan, menurut Perjanjian Baru pada dasarnya adalah Bapa”5.

Kekacauan yang sama terjadi ketika menerjemahkan beberapa terks al., Kejadian 33:20. Kalimat, “Dia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: Allahnya Israel ialah Allah”, dalam teks Ibraninya, “wayatsev sham mizbekh wayiqra lo El, Elohe Yisrael”. Perhatikan bagaimana dalam kalimat Ibrani, ada dua bentuk penyebutan yang berbeda, yaitu El dan Elohe, namun Lembaga Alkitab Indonesia menyamakan begitu saja menjadi “Allah”. Sekarang kita fokuskan pada pengkajian kata El. Istilah El, secara gramatikal memiliki makna “Kekuatan” atau “Yang Kuat”. Dalam Keluaran 15:2 dikatakan “zeh Eli weanwehu Elohe avi…” (Dialah Kekuatanku dan aku memuji Sesembahan/Tuhan bapaku…). Kemudian dalam Ulangan 10:17 dikatakan, “ki YHWH Elohe ha Elohim, wa Adoney ha Adonim, ha El, ha Gadol, Ha Gibor we ha Nora…” (sebab YHWH adalah Sesembahan/Tuhan diatas segala sesembahan/tuhan, Tuan diatas segala tuan, Yang Kuat, Yang Besar, Yang Perkasa, Yang Luar Biasa…). Dengan demikian, sebaiknya kalimat, “El, Elohe Yisrael” dalam Kejadian 33:20 selayaknya diterjemahkan, “Yang Kuat, Sesembahan/Tuhan Yisrael” atau “El adalah Sesembahan Yisrael”. Kata El sendiri bukanlah menunjuk nama Sang Pencipta, melainkan sebutan yang menjelaskan mengenai sifat Ketuhanan yang mengatasi segala sesuatu. Kata “El”, sepadan dengan bahasa Arab “Il”. Allah, sudah menunjuk nama Ilah (Qs 20:14, 98)

Kemudian teks Kejadian 46:3. Kalimat, “lalu firman-Nya: Akulah Allah, Allahnya ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir…” dalam teks Ibrani, “wayomer, Anoki ha El, Elohe avika, al tira merda Mitshrayma…” . Istilah ha El muncul kembali, sebagaimana dalam Kejadian 33:20. Istilah yang setara untuk El, dalam bahasa Arab adalah Il. Dari kata ini menjadi Ilah. Allah, sudah menunjuk nama Ilah sebagaimana dikatakan:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs 20:40)

“Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu." (Qs 20:98)

Sungguh mengerikan dan memprihatinkan melihat kerancuan terminologi yang bermuara pada kekacauan nama dan istilah dalam Ketuhanan. Kekristenan Indonesia sedang dalam krisis orientasi Ketuhanan.

Sebelum saya memperdalam kajian mengenai irelevansi penggunaan nama “Allah” dalam terjemahan Kitab Suci TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru, saya akan mengulas mengenai aneka ragam pandangan tentang siapakah Allah tersebut.

KETIDAKJELASAN AKAR KATA DAN ASAL USUL NAMA ALLAH

Mengenai asal-usul nama Allah itu sendiri, masih menjadi bahan perdebatan baik dikalangan Kristen maupun Islam. Kita akan melihat sekilas pemetaan silang pendapat mengenai asal-usul nama Allah dibawah ini.

Pandangan Islam: اللهُ (Allah) berasal dari kata Al (definite article, The) dan Ilah (generic name, God). Penyingkatan dari kata Al dan Ilah menjadi Allah, untuk menandai sesuatu yang telah dikenal. Dalam perkembangannya, untuk mempermudah hamzat yang berada diantara dua lam (huruf ‘LL’), huruf ‘I’ tidak diucapkan sehingga berbunyi Allah dan menjadi suatu nama yang khusus dan tidak berakar6. Ada pula yang berpendapat bahwa Allah berasal dari Al Ilahah, Al Uluhah dan Al Uluhiyah yang bermakna ibadah atau penyembahan7. Yang lain mengajukan bahwa Allah berasal dari kata Alaha yang berarti menakjubkan atau mengherankan karena segala perbuatannya8. Sementara ada yang berargumentasi bahwa Allah berasal dari kata, Aliha ya’lahu yang bermakna tenang9. Kelompok pemikir dari Kufah mengatakan bahwa Allah, berasal dari Al-Lah, yang diambil dari verba noun lah yang berasal dari kata lahaya yang bermakna menjadi tinggi10. Sedangkan Ibn Al Arabi menyatakan bahwa Tuhan itu tidak bernama, tetapi Dzat yang dinamakan oleh umatNya. Penamaan terhadap Tuhan, berarti melimitasi eksistensi Tuhan11.

Pandangan Kristen : Ada yang beranggapan bahwa Allah adalah berasal dari sumber Syriac, Alaha12. Sementara yang lain berpendapat bahwa Allah berasal dari akar kata rumpun semitis El, Eloah dan Elohim serta Alaha. Bentuk Arabnya Ilah, lalu mendapat imbuhan Al yang berfungsi sebagai definite article (The God- Al Ilah-Allah)13. Kata Allah berasal dari Al dan Ilah. Akar kata ini terdapat dalam semua bahasa semitis, yaitu dua konsonan alif dan lam serta ucapan yang lengkap dengan huruf hidup adalah sesuai dengan phonetik masing-masing14. George Fry dan James R. King menyampaikan, “the name by which God is known to muslim, Allah is generally thought to be the proper noun form of the Arabic word for God, Ilah. Al, meaning The ini Arabic word. This word is related to the Hebrew from El and Elohim”15. J. Blau menjelaskan bahwa kata Allah adalah murni dari konteks Arab dan bukan dari sumber Syriac16.

Pada bagian sebelumnya, telah dipaparkan kajian asal-usul nama Allah dari perspektif historis maupun etimologis. Pada bagian ini akan kami perdalam dengan menyaksikan tinjauan kritis mengenai akar kata nama Allah yang dihubungkan dengan ungkapan semitik El, Eloah, Elohim (Ibr), Elah (Aram), Ilanu (Akkadian).

PENILAIAN TERHADAP AKAR NAMA ALLAH

Allah, bukan bentukan atau kontraksi dari Al dan Ilah. Jika benar Allah adalah kontraksi dari Al dan Ilah, mengapa logika ini tidak berlaku untuk kata Arab lainnya seperti, Al dan Iman, mengapa tidak menjadi Alman? Al dan Ilmu mengapa tidak menjadi Almu? Bambang Noorsena pernah membantah dengan menyatakan bahwa kasus penyingkatan Al dan Ilah, hanya terjadi dalam bahasa Arab17. Renungkan: mengapa penyingkatan ini menjadi sangat istimewa pada kata Al dan Ilah?

Allah, bukan berasal dari rumpun kata semitis El, Eloah dan Elohim. Jika Allah adalah rumpun semitis dengan istilah Ibrani, El, Eloah dan Elohim, maka bentuk gramatika jamak untuk Allah itu apa? Dalam terminologi Hebraik, penjamakan kata benda, selalu digunakan akhiran im (jika gendernya maskulin) atau ot dan ah, (jika gendernya feminin)18. Kata khaykhayim (kehidupan). Kata Eloah, bentuk jamaknya Elohim. Demikian pula dalam bahasa Arab, istilah Ilah (yang sepadan dengan Eloah), bentuk jamaknya adalah Alihah (Ilah-ilah). Adakah bentuk jamak dari Allah?19 Renungkan: Adakah tata bahasa yang membenarkan bahwa nama diri ditulis dalam bentuk jamak? (hidup) bentuk jamaknya adalah

Dalam Kitab Suci TaNaKh, tidak ada ditemui kata Allah dalam konotasi nama diri. Dalam naskah TaNaKh berbahasa Ibrani, ada sejumlah kata yang berkonotasi dengan Allah, namun sesungguhnya bukan. Contoh:
אלה (Ala) huruf ‘h’ diakhir kata tidak diucapkan karena tidak ada titik pengeras atau dagesh forte. Artinya, “sumpah” (1 Raj 8:31)
האלה (ha Ala) huruf ‘h’ akhir tidak diucapkan. Artinya, “pohon besar” (Yos 24:26)
אלה (Ela) huruf ‘h’ diakhir kalimat tidak diucapkan. Artinya, “nama suatu kaum” (Kej 34:41) dan “nama raja di Israel” (1 Raj 16:6-8)
אלהא (Elaha, Dan 5:21), אלה (Elah, Dan 2;47a), אלהין (Elahin, Dan 2:47b), adalah varian bahasa Aram yang artinya sama dengan Eloah dalam bahasa Ibrani. Baik Elah, Elaha atau Elahakhon dapat menunjuk pada terminologi Sesembahan Israel Yang Sejati atau terminologi umum untuk sesembahan diluar Israel
אלוה (Eloah, Hab 3:3), אלהים (Elohim, Kej 1:1), artinya Tuhan. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan God dan dalam bahasa Yunani diterjemahkan Theos.
אל (El, Kej 33:20) artinya Yang Maha Kuat
Dalam Kitab Perjanjian Baru, tidak ditemui kata-kata yang menunjuk pada nama diri Allah. Ketika Yesus berteriak di kayu salib saat kematianNya, Dia berseru: “Eli-Eli Lama Shabakhtani?” (Mat 27:46). Kata Eli, merupakan bentuk singkat dari Elohim dan AnokhiAni (Aku). Kebiasaan menyingkat kalimat seperti ini biasa terjadi dalam tradisi Israel. Perhatikan dalam Keluaran 15:2 yang selengkapnya dalam naskah Hebraik: “ze Eli, weanwehu Elohei abi waaromenhu”. Kata Eli dalam ayat tersebut diartikan “Tuhanku”. Seruan “Eli-Eli lama sabakhtani” dalam Matius 27:46 dalam Kitab Suci berbahasa Arab dituliskan, إِيلِي إِيلِي لَمَا شَبَقْتَنِي (Ilahi-Ilahi limadza taroktani) dan bukan “Allahi-Allahi limadza taroktani?”. atau

KRONOLOGI HISTORIS PENGGUNAAN NAMA ALLAH DALAM TERJEMAHAN KITAB SUCI KRISTIANI

Dalam buku, Hidup Bersama di Bumi Pancasila, diterangkan bagaimana kronologi masuknya agama Islam dan Kristen di Nusantara20. Dijelaskan dalam buku tersebut bagaimana Islam telah lebih dahulu masuk ke Nusantara dalam dua tahap. Tahap pertama (tidak terlalu signifikan pengaruhnya) pada Abad VII-VIII oleh pedagang Arab menuju Sumatera. Tahap kedua (signifikan pengaruhnya) pada Abad XIII dibawa oleh pedagang Gujarat yang dipengaruhi mistik Persia.

Selanjutnya Portugis yang beragama Katholik, masuk nusantara pada tahun 1512. Kemudian berturut-turut masuk armada Belanda pada tahun 1596, yang kemudian membentuk kongsi dagang VOC, pada tahun 1602. Karena kebangkrutan VOC, maka sekitar tahun 1800-an, pemerintah Hindia Belanda mulai mengambil alih kepemimpinan, termasuk masalah misi dan keagamaan. Pada masa ini, mulailah muncul lembaga misi dan proses penerjemahan Kitab Suci pun dimulai.

Merujuk pada makalah DR. P.D. Latuihamalo yang dibacakan oleh DR. Katopo dalam Sarasehan Terjemahan Alkitab mengenai kata TUHAN dan ALLAH yang diselenggarakan di Bandung, Tgl 5 Juni 2001, kita mendapatkan informasi sbb:21 Tahun 1629, Albert Corneliz Ruyl, seorang pegawai tinggi VOC berpangkat Onderkoftman, menerjemahkan Kitab Injil Matius dari bahasa Yunani kebahasa Melayu dan bahasa Belanda. Adapun transkripsi terjemahan mengenai konsep Ketuhanan sbb:
Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
Iesous diterjemahkan menjadi Yesus (Mat 1:1)
Christos diterjemahkan menjadi Christus (Mat 16:16)
Abraam menjadi Ibrahim (Mat 1:1)
Pada tahun 1733, Melchior Lejdecker dan H.G. Klinkert pada tahun 1879 menerjemahkan dengan pola sbb:
Theos diterjemahkan menjadi Allah (Mat 4:4)
Iesous diterjemahkan menjadi Isa (Mat 1:1)
Christos diterjemahkan menjadi Al Masih (Mat 16:16)
Sementara Bode menolak menggunakan nama Isa dan Al Masih, namun beliau tetap menggunakan nama Allah sebagai ganti Theos atau Elohim. Dikarenakan dari sejak Ruyl, Lejdecker sampai Bode, tetap menggunakan nama Allah sebagai translasi dari Theos dan Elohim, maka Lembaga Alkitab Indonesia berketetapan bahwa penggunaan nama Allah tetap sah dan relevan sebagai terjemahan untuk Theos dan Elohim. Lembaga Alkitab Indonesia, yang berdiri sejak tahun 1954, tetap mempertahankan nama Allah yang sudah tercantum dalam teks terjemahan kuno diatas dengan dua pertimbangan yaitu:
Sudah lama diterima oleh umum
Allah, bukan dipahami sebagai nama diri tetapi sebagai nama jenis, sebagaimana Elohim, Theos, God, Deo
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa sejak diterjemahkannya Kitab Suci dalam bahasa Portugis 1748-1753), sudah dipergunakan nama JEHOVAH. Pada tahun 1839, P.Janz menerjemahkan dalam bahasa Jawa dengan transliterasi JEHUWAH. Zendeling Rinsje di tanah Batak menggunakan Djahoba. Demikian pula di Nias, digunakan Jehofa. Sementara Lejdecker menggunakan HUWA untuk YAHWEH dan Klinkert menggunakan HOEWA dan JEHOEWA, TOEHAN HOEWA dan Tuhan HOEWA.

Dalam Konferensi para penerjemah Alkitab pada tahun 1952 di Jakarta, ditetapkanlah supaya nama HUWA ditiadakan dan diganti menjadi TUHAN. Alasan terhadap persoalan tersebut adalah mengacu pada disertasi doktoral DR. H. Rosin, dosen STT Jakarta, tahun 1955 di Geneva Universiteit, bahwa empat huruf (tetragrammaton) YHWH, tidak dapat diucapkan (unpronounceable). Karena tidak dapat diucapkan, maka petunjuk terarah adalah dengan menggunakan huruf kapital semua, TUHAN. Renungkan: LAI tetap mempertahankan penggunaan nama Allah dengan alasan nama itu telah dipakai sejak Ruyl, Lejdecker, Klinkert serta Bode. Anehnya, mengapa nama Yahweh yang telah dituliskan sejak masuknya Portugis ke Indonesia, tidak dapat dipertahankan? Jika empat huruf YHWH tidak dapat diucapkan, mengapa para penerjemah diatas, bahkan penerjemah dalam bahasa daerah sudah menggunakan nama Jehovah, Jehowa, Hoewa atau Huwa? Logiskah jika Musa, Ishak dan Yakub serta leluhur Israel tidak dapat mengucapkan nama Yahweh, padahal mereka berkomunikasi dengan Sang Pencipta secara audible? Jika naskah Kitab Suci berbahasa Ibrani dapat diterjemahkan dalam berbagai bahasa, mengapa nama Yahweh tidak dapat dituliskan? Bagaimana mungkin ada bahasa yang tidak dapat diterjemahkan dan ditransliterasikan? Dengan alasan apa Sang Pencipta memberitakan namaNya yang abstrak?

MEMPERTIMBANGKAN DOKUMEN 193922

Tahun 1896, telah beredar Injil dalam bahasa Melayu dengan judul WASIYAT YANG BEHAROE: ijaitoe Segala Kitab Perdjanjian Jang Beharoe ataw Indjil Toehan kita ISA AL MASIH. Kitab ini dicetak di Amsterdam, Belanda.

Tahun 1940, akhirnya dimunculkan revisi kitab dengan jududl muka, KITAB PERDJANJIAN BAHAROE, diterjemahkan dari bahasa Grika kepada bahasa Melayoe, dikeloearkan oleh Belandja British and Foreign Bible Society, London-National Bible Society of Scotland Edinburg-Nederlandsch Bijbel genootschap, Amsterdam. Kitab ini dicetak di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Pada kata pengantar kitab terbitan tahun 1940, terlampir pandangan komite penyalin yang menuliskan pandagannya pada tahun 1939 di Sukabumi. Dalam kata pengantar tersebut, ada empat hal yang menarik untuk dicermati.

Keterlibatan asisten Melayu Islam dalam Komite Penyalin (dok, hal 1)

“Maka bagi maksud itoe, sedia ditetapkanja pada akhir tahoen 1930 soetaoe Comite Penjalin di Soekaboemi, yang sedang mengerdjakan salinan baharoe itoe dibawah pimpinan…dan berganti-ganti doea oerang assistant Melajoe djati dari tanah Melajoe…”

Kesukaran dalam penerjemahan dan kebutuhan untuk koreksi tanpa batas (dok, hal 2)

“Maka ta’dapaat tiada pembatja telah paham akan kesoekaran Comite Penjalin itoe mengadakan persatoean bahasa bagi pengertian yang am. Oleh sebab itoe djoega dipinta kepada pembatja yang insaf akan mengingatkan segala toentoetan terdjemahan yang sukar itu”.

Allah, nama Tuhan (dok. Hal 3)

“Karena ma’na Toehan menoeroet perasaan orang Arab dan orang Melajoe djati ialah Allah. Demikian djuga menurut djalan bahasa Arab dan logat Melajoe djati, adalah perkataan Allah itoe boekanja sedjenis nama yang dinamakan, seperti pada perasaan disebelah barat tentang perkataan God. Oleh jand demikian maka perkataan Allah yang bersamboeng dengan koe, moe, nja, dengan toedjoean poenja, itoe bersalahan dengan perasaan orang Melajoe yang diloear golongan Keristen”

Ketergantungan pada bahasa Arab Melayu (dok. Hal 5)

“Kadang-kadang penjalin terpaksa menggoenakan bahasa Melajoe, sebab tiada ada kata Melajoe djati yang boleh mensifatkan pengertian ataw toedjoean nas asli dengn sebetul-betulnya”

Dari eksposisi historis diatas, dapat kita menyimpulkan bahwa penggunaan nama Allah yang tercantum dalam Kitab Suci TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru, sebenarnya bermula dari proses penerjemahan dengan melalui suatu adopsi sesembahan orang Melayu yang beragama Islam. Proses adopsi tersebut, bukan didasarkan pada suatu pemahaman teologis yang mendalam, melainkan hanya didasarkan pada proses kontekstualisasi semata, tanpa mengkaji dan mempertimbangkan bahwa nama Allah bukanlah istilah pengganti yang tepat untuk Elohim, Theos atau God. Kita juga melihat bagaimana sejumlah perbendaharaan bahasa Indonesia masih sangat terbatas dan terus mengalami perkembangan sehingga mengalami kesukaran dalam penerjemahan yang mengakibatkan banyak meminjam unsur Arab. Berlandaskan kenyataan diatas, terjemahan Kitab Suci yang ada bukanlah hasil karya yang harus dikeramatkan, melainkan karya terjemahan yang harus terus diselaraskan secara relevan dengan perubahan zaman.
End Notes:
1 Alkitab Elektronik 2.0.0, ALKITAB TERJEMAHAN BARU, 1974
2 Yogyakarta, ANDI Offset 1995, hal 9
3 Katekismus Baru, Yogyakarta: TPK Gunung Mulia, 1992, hal 51
4 Doktrin Tentang Allah, Malang: Sekolah Alkitab Asia Tenggara, 1991, hal 9-13
5 Pedoman Dogmatika, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hal 53
6 DR. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Lentera Hati, 1998, hal 3-9
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
10 DR. Djaka Soetapa, Penterjemahan Kata Yahweh dan Elohim menjadi TUHAN dan Allah dalam Perspektif Teologi Islam, hal 2 (Makalah disampaikan pada Sarasehan Terjemahan Alkitab Mengenai Kata TUHAN dan ALLAH, PGPK, Bandung, 5 Juni 2001)
11 DR. Kautzar Azhari Noer, Tuhan Kepercayaan [Artikel Koran Jawa Pos, 23 September 2001
12 Arthur Jefrey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Baroda:Oriental Institute, 1938, p.66
13 Bambang Noorsena, Mengenai Kata Allah, Institute for Syriac Christian Studies, Malang, 2001, hal 9
14 Olaf Schumman, Keluar dari Benteng Pertahanan, Rasindo, hal 172-174
15 George Fry and James R. King, Islam: A Survey of The Muslim Faith, Baker Book House, 1982, p.487
16 Arabic Lexicographical, Miscelani, 1972, p. 173-190
17 Op.Cit., Mengenai Kata Allah, hal 16-17
18 DR. D.L. Baker, Pengantar Bahasa Ibrani, BPK 1992, hal 89
19 Teguh Hindarto, STh., Kritik dan Jawab Terhadap Efraim Bambang Noorsena, SH.BAHANA No 09, 2001, hal 13) (Artikel di Majalah
20 Bambang Ruseno Oetomo, PSAK, 1993, hal 33-35
21 Latar Belakang Historis Terjemahan LAI Mengenai Nama: YHWH=TUHAN;Elohim=Allah, PGPK, hal 1-3
22 Redefinisi dan Rekonsepsi Nama Allah dan Urgensi Penggunaan Nama Yahweh Dalam Komunitas Kristen, Disampaikan pada Forum Panel Diskusi Di Auditorium Duta Wacana-Yogyakarta, Tgl 20 Oktober 2003


Re-posted with permission from:  http://messianic-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=235:meninjau-ulang-penggunaan-nama-allah-dalam-terjemahan-versi-lembaga-alkitab-indonesia&catid=34:mesianik&Itemid=53



Finally I want to say:
"YHWH ELOHEINU WE AVOTENU YEVAREK ETKEM BE SHEM YAHSHUA MOSHIENU. AMN.”





1 komentar:

  1. Konsep sesembahan Islam (Allah) dan Kristen sangat bertolak belakang. Walaupun di pra islam Allah sudah digunakan oleh kelompok Kristen di timteng sebaiknya kita gunakan kata aslinya saja.

    BalasHapus